Senin, 04 Mei 2020

Esai



ESTETIKA MAUT PADA SAJAK MEMBACA GELISAH CHORY MARBAWI
Soerya Sandi

Ketika Maut Menjadi Sebuah Obsesi
Kematian bukanlah semata-mata ketidakadaan dan kebinasaan, akan tetapi ia hanyalah terputusnya hubungan antara ruh dan jasad, terpisah dan terhalangnya keduanya untuk menyatu dan bertemu. Kematian hanyalah pergantian keadaan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah kiranya paparan tentang maut atau kematian menurut Abdul Hadi (2002:27).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:72 5) memadankan kata maut sendiri dengan kata mati atau kematian, terlebih lagi tentang manusia. Maut hanya diperuntukkan untuk manusia, sedangkan yang bukan manusia tidak dilanda maut, melainkan hanya mati saja. Kata mati dapat berarti: (1) sudah hilang nyawa, tidak hidup lagi, (2) tidak bernyawa, tidak pernah hidup, dan (3) diam, berhenti, tidak bergerak.

Vonis Tuhan tentang kematian juga termaktub di dalam Al-qur’an;
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka ia sungguh telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imron : 185)

Begitu pula dengan agama Nasrani yang menyatakan bahwa “ baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan’ (Rm 14:7-9. 10b-12). Hidup dan mati adalah dua hal yang sifatnya manusiawi, tidak seorang pun dapat ‘nyumput’ dan luput darinya. Kita yang manusia selalu menganggap bahwa hidup adalah kenikmatan dan mati adalah kebinasaan. Hidup membawa kepada cita-cita dan harapan, sedangkan mati sebagai bencana dan kegelapan. Tapi hidup dan mati adalah milik Tuhan, manusia hanya melakonkan kisah di dunia dan akan dinilai di alam baqa.

Begitu banyak penyair-penyair Nusantara yang mengkultuskan maut di dalam puisinya. Tapi manakala hal tersebut sudah masuh ke dunia nyata, hal demikian sudah bukan lagi sekedar ‘obsesi’. Melainkan gambaran atau firasat bahwa begitu dekatnya maut kepada penyairnya. Sebegitu terobsesinya Chory Marbawi kepada maut sehingga ia mampu membaca gelisah bahwa maut akan bersegera. Ia meninggal di usia yang relatif muda, 27 tahun (1985-2012) nyaris persis dengan pendahulunya Chairil Anwar, 27 tahun (1922-1949) dan sama-sama mewariskan puisi pula. Namun sosok Chory mengingatkan kita kepada Kriapur (Kristanto Agus Purnomo), penyair yang juga meninggal di usia muda, 28 tahun (1959-1987). Mereka sama-sama seorang pendidik, kronologi meninggalnya hampir sama yakni karena kecelakaan.

Seperti halnya Kriapur yang berani mengungkapkan ‘kupahat mayatku di air’ (Horison 2004), Chory juga mampu ‘membaca gelisah’ tentang maut yang selalu memapah wajah. Kedua-duanya mengakrabi maut sebagai suatu katarsis yang diimplementasikan ke dalam puisi. Pada puisi Kriapur ‘ kupahat mayatku di air’, ia sendiri seperti melukiskan kronologis kematiannya di dalam puisi. Seperti pada bait pertama puisi /kupahat mayatku di air/, /namaku mengalir/, /pada batu dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/. Gambaran bait-bait puisinya semacam memberi gambaran tentang kematian yang didambakannya. Ketika hari nahas menjelang, siang 17 februari 1987, sebuah kecelakaan terjadi di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah. Sebuah mobil terperosok ke dasar kali/air, seperti yang dilukiskan pada puisinya /pada dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/.

Demikian halnya dengan Chory Marbawi, ia punya lukisan sendiri bagaimana ‘skenario’ keberpulangannya terjadi. Hari masih pagi, 2 Oktober 2012, ketika itikadnya menunaikan pekerjaannya sebagai guru harus pupus di tengah jalan. Ya, hari duka tiba, menjawab sebuah tanya /kapan aku membelaimu kembali?/. Hari selasa, di pekan pertama, penyair muda kita sudah tiada.


Maut Sebagai Nilai Estetis Sebuah Puisi
MEMBACA GELISAH
: dalam jarak
Chory Marbawi

kita tergeragap mengeja jarak dalam ruang pisah
“ kapan aku membelaimu kembali”

suara ngilu, dalam ruang pengap
kita terbaring membaca gelisah yang meresah

“kau yang terlahir dari rahim mendekatlah”
dari kejauhan, terdengar sayup-sayup parau panggilanmu

seketika, terlihat seraut wajah berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang

dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang meresah.

Teater AiR, 2009
( Beranda Senja, hal 64)

Bila hendak disimak, beberapa puisi yang ditulis oleh Chory Marbawi sering ‘menjejakkan’ tanda baca petik(“) di setiap baitnya. Ada semacam warisan semiotik yang menarik untuk digali bagi siapa saja yang membacanya. Pada disiplin ilmu kebahasaan, tanda petik (“) memiliki salah satu fungsi sebagai pengapit dari sebuah pembicaraan/percakapan. Kaitannya dengan puisi “membaca gelisah”, tanda ini cukup menarik untuk ditelusuri.
Pada bait pertama yang dipadukan pada dua buah larik, larik pertama seperti memberikan tuntunan akan hadirnya bait kedua. Larik /kita tergeragap mengeja jarak dalam ruang pisah/ dijadikan semacam prolog untuk memperkenalkan larik kedua. Ada perpaduan antara prosa dan puisi pada puisi ini. Jika di dalam prosa, baik itu novel maupun cerpen, kata yang tidak dibarengi dengan tanda petik biasanya cenderung bersifat mendeskripsikan, sedangkan kata yang bertanda kutip biasanya berupa dialog atau percakapan.

Pada larik kedua, pada ungkapan /”kapan aku membelaimu kembali”/. Menyiratkan adanya dialog antara penulis dengan sesuatu yang bisa kita sebut metafisis. Metafisis asalnya dari kata metafisika yang artinya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat nonfisik atau tidak kelihatan. Hal demikian semakin memperkuat adanya kemasygulan dari penyair sendiri kepada sesuatu yang lebih abadi (kematian).

Bait berikutnya /suara ngilu, dalam ruang pengap/,  /kita terbaring membaca gelisah yang meresah/, secara implisit larik tersebut merepresentasikan dunia alam kubur. Bagaimana saat berada /dalam ruang pengap/ lagi gelap, /kita terbaring membaca gelisah yang meresah/. Keresahan dan kegelisahan yang dirasakan Chory justru dimanfaatkannya untuk terus berkreasi melahirkan puisi. Demikian adanya dengan harapan dan hasratnya meraih kelanggengan setelah kematian.

Sebuah ‘sketsa’ kematian yang dituliskan Chory semakin jelas gambarannya ketika kita membaca bait ketiga, /“kau yang terlahir dari rahim mendekatlah”/, /dari kejauhan, terdengar sayup-sayup parau panggilanmu/. Larik pertama menyiratkan panggilan sekaligus menegaskan bahwa maut itu sudah takdir atau ketentuan Tuhan, sebab manusia itu lahir, hidup, dan mati sudah sesuai dengan garis takdir, tidak perlu lagi dirisaugelisahkan. Maut adalah janji manusia kepada Tuhan, datangnya tidak bisa dihindari, sebuah perjanjian sudah disepakati. Seperti halnya dalam dunia pewayangan, manusia hanya melakonkan kisah epos duniawi, lalu kembali dijemput Yamadipati.

seketika, terlihat seraut wajah berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang

dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang meresah.

Bait keempat dan kelima dijadikan sebuah epilog, /seketika, terlihat seraut wajah berkejaran/, atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang/. Pentas pelakonan sandiwara di dunia melibatkan wajah-wajah saling berkejaran, bersaing merebutkan materi dan harta yang bergelimpangan. Tapi tatkala maut menjemput nanti, semuanya menghilang, hanya sebatas bayang-bayang.

Chory melibatkan unsur metafor pada bait kelima, pada kata ‘ruang pisah’ dan ‘jarak yang megah’. Maut adalah muara kelanggengan, sedang hidup merupakan kesementaraan. Semua bermuara pada keabadian, ketika manusia yang masih hidup dan yang sudah mati dipisahkan oleh sebuah ‘ruang pisah’, yang jaraknya tak teraba oleh disiplin ilmu apa saja. Kita yang masih hidup masih akan terus ‘ tergagap membaca kisah yang meresah’.

Namun baginya tak ada lagi resah apalagi gundah, sebab dia sudah berada di ‘ruang megah’ untuk selama-lamanya. Selamat jalan Bang Chory Marbawi.


Mendalo, April 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Profil

Foto saya
Soerya Sandi pseudonim dari Sandi Suryamat, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi. Beberapa cerpennya tersiar di media massa (Jambi Independent, Jambi Ekspres, Harian Jambi, Jambi Today, Majalah Pipet) dan diterbitkan ke dalam buku antologi cerpen bersama, antara lain Cinta Pertama (Sahabat Kata, Jakarta 2012), Belati Tembaga (Festival Sastra, Yogyakarta 2013) dan Riwayat Angin (Smart Writing, Yogyakarta 2013), Lurus Jalan Terus (Efarasti, Banten 2014), Jaran Kepang (Pucuk Langit, Makassar 2014). Buku tunggalnya yang telah terbit Ros Pulang (Salim Media Indonesia, 2015). Naskah lakonnya yang pernah dipentaskan adalah “Hematofobia” dan “Episode perjalanan” Pernah menjadi editor di salah satu penerbit di Jambi (2015 s.d. 2018). Sejak 2019 menjadi tenaga pengajar di SMAN 4 Sarolangun. Surel: soeryasandi@gmail.com, kontak 082373584575.

Sahabat

statistics

Kaleidoskop 2014

Kaleidoskop 2014

Esai



ESTETIKA MAUT PADA SAJAK MEMBACA GELISAH CHORY MARBAWI
Soerya Sandi

Ketika Maut Menjadi Sebuah Obsesi
Kematian bukanlah semata-mata ketidakadaan dan kebinasaan, akan tetapi ia hanyalah terputusnya hubungan antara ruh dan jasad, terpisah dan terhalangnya keduanya untuk menyatu dan bertemu. Kematian hanyalah pergantian keadaan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah kiranya paparan tentang maut atau kematian menurut Abdul Hadi (2002:27).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:72 5) memadankan kata maut sendiri dengan kata mati atau kematian, terlebih lagi tentang manusia. Maut hanya diperuntukkan untuk manusia, sedangkan yang bukan manusia tidak dilanda maut, melainkan hanya mati saja. Kata mati dapat berarti: (1) sudah hilang nyawa, tidak hidup lagi, (2) tidak bernyawa, tidak pernah hidup, dan (3) diam, berhenti, tidak bergerak.

Vonis Tuhan tentang kematian juga termaktub di dalam Al-qur’an;
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka ia sungguh telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imron : 185)

Begitu pula dengan agama Nasrani yang menyatakan bahwa “ baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan’ (Rm 14:7-9. 10b-12). Hidup dan mati adalah dua hal yang sifatnya manusiawi, tidak seorang pun dapat ‘nyumput’ dan luput darinya. Kita yang manusia selalu menganggap bahwa hidup adalah kenikmatan dan mati adalah kebinasaan. Hidup membawa kepada cita-cita dan harapan, sedangkan mati sebagai bencana dan kegelapan. Tapi hidup dan mati adalah milik Tuhan, manusia hanya melakonkan kisah di dunia dan akan dinilai di alam baqa.

Begitu banyak penyair-penyair Nusantara yang mengkultuskan maut di dalam puisinya. Tapi manakala hal tersebut sudah masuh ke dunia nyata, hal demikian sudah bukan lagi sekedar ‘obsesi’. Melainkan gambaran atau firasat bahwa begitu dekatnya maut kepada penyairnya. Sebegitu terobsesinya Chory Marbawi kepada maut sehingga ia mampu membaca gelisah bahwa maut akan bersegera. Ia meninggal di usia yang relatif muda, 27 tahun (1985-2012) nyaris persis dengan pendahulunya Chairil Anwar, 27 tahun (1922-1949) dan sama-sama mewariskan puisi pula. Namun sosok Chory mengingatkan kita kepada Kriapur (Kristanto Agus Purnomo), penyair yang juga meninggal di usia muda, 28 tahun (1959-1987). Mereka sama-sama seorang pendidik, kronologi meninggalnya hampir sama yakni karena kecelakaan.

Seperti halnya Kriapur yang berani mengungkapkan ‘kupahat mayatku di air’ (Horison 2004), Chory juga mampu ‘membaca gelisah’ tentang maut yang selalu memapah wajah. Kedua-duanya mengakrabi maut sebagai suatu katarsis yang diimplementasikan ke dalam puisi. Pada puisi Kriapur ‘ kupahat mayatku di air’, ia sendiri seperti melukiskan kronologis kematiannya di dalam puisi. Seperti pada bait pertama puisi /kupahat mayatku di air/, /namaku mengalir/, /pada batu dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/. Gambaran bait-bait puisinya semacam memberi gambaran tentang kematian yang didambakannya. Ketika hari nahas menjelang, siang 17 februari 1987, sebuah kecelakaan terjadi di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah. Sebuah mobil terperosok ke dasar kali/air, seperti yang dilukiskan pada puisinya /pada dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/.

Demikian halnya dengan Chory Marbawi, ia punya lukisan sendiri bagaimana ‘skenario’ keberpulangannya terjadi. Hari masih pagi, 2 Oktober 2012, ketika itikadnya menunaikan pekerjaannya sebagai guru harus pupus di tengah jalan. Ya, hari duka tiba, menjawab sebuah tanya /kapan aku membelaimu kembali?/. Hari selasa, di pekan pertama, penyair muda kita sudah tiada.


Maut Sebagai Nilai Estetis Sebuah Puisi
MEMBACA GELISAH
: dalam jarak
Chory Marbawi

kita tergeragap mengeja jarak dalam ruang pisah
“ kapan aku membelaimu kembali”

suara ngilu, dalam ruang pengap
kita terbaring membaca gelisah yang meresah

“kau yang terlahir dari rahim mendekatlah”
dari kejauhan, terdengar sayup-sayup parau panggilanmu

seketika, terlihat seraut wajah berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang

dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang meresah.

Teater AiR, 2009
( Beranda Senja, hal 64)

Bila hendak disimak, beberapa puisi yang ditulis oleh Chory Marbawi sering ‘menjejakkan’ tanda baca petik(“) di setiap baitnya. Ada semacam warisan semiotik yang menarik untuk digali bagi siapa saja yang membacanya. Pada disiplin ilmu kebahasaan, tanda petik (“) memiliki salah satu fungsi sebagai pengapit dari sebuah pembicaraan/percakapan. Kaitannya dengan puisi “membaca gelisah”, tanda ini cukup menarik untuk ditelusuri.
Pada bait pertama yang dipadukan pada dua buah larik, larik pertama seperti memberikan tuntunan akan hadirnya bait kedua. Larik /kita tergeragap mengeja jarak dalam ruang pisah/ dijadikan semacam prolog untuk memperkenalkan larik kedua. Ada perpaduan antara prosa dan puisi pada puisi ini. Jika di dalam prosa, baik itu novel maupun cerpen, kata yang tidak dibarengi dengan tanda petik biasanya cenderung bersifat mendeskripsikan, sedangkan kata yang bertanda kutip biasanya berupa dialog atau percakapan.

Pada larik kedua, pada ungkapan /”kapan aku membelaimu kembali”/. Menyiratkan adanya dialog antara penulis dengan sesuatu yang bisa kita sebut metafisis. Metafisis asalnya dari kata metafisika yang artinya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat nonfisik atau tidak kelihatan. Hal demikian semakin memperkuat adanya kemasygulan dari penyair sendiri kepada sesuatu yang lebih abadi (kematian).

Bait berikutnya /suara ngilu, dalam ruang pengap/,  /kita terbaring membaca gelisah yang meresah/, secara implisit larik tersebut merepresentasikan dunia alam kubur. Bagaimana saat berada /dalam ruang pengap/ lagi gelap, /kita terbaring membaca gelisah yang meresah/. Keresahan dan kegelisahan yang dirasakan Chory justru dimanfaatkannya untuk terus berkreasi melahirkan puisi. Demikian adanya dengan harapan dan hasratnya meraih kelanggengan setelah kematian.

Sebuah ‘sketsa’ kematian yang dituliskan Chory semakin jelas gambarannya ketika kita membaca bait ketiga, /“kau yang terlahir dari rahim mendekatlah”/, /dari kejauhan, terdengar sayup-sayup parau panggilanmu/. Larik pertama menyiratkan panggilan sekaligus menegaskan bahwa maut itu sudah takdir atau ketentuan Tuhan, sebab manusia itu lahir, hidup, dan mati sudah sesuai dengan garis takdir, tidak perlu lagi dirisaugelisahkan. Maut adalah janji manusia kepada Tuhan, datangnya tidak bisa dihindari, sebuah perjanjian sudah disepakati. Seperti halnya dalam dunia pewayangan, manusia hanya melakonkan kisah epos duniawi, lalu kembali dijemput Yamadipati.

seketika, terlihat seraut wajah berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang

dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang meresah.

Bait keempat dan kelima dijadikan sebuah epilog, /seketika, terlihat seraut wajah berkejaran/, atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang/. Pentas pelakonan sandiwara di dunia melibatkan wajah-wajah saling berkejaran, bersaing merebutkan materi dan harta yang bergelimpangan. Tapi tatkala maut menjemput nanti, semuanya menghilang, hanya sebatas bayang-bayang.

Chory melibatkan unsur metafor pada bait kelima, pada kata ‘ruang pisah’ dan ‘jarak yang megah’. Maut adalah muara kelanggengan, sedang hidup merupakan kesementaraan. Semua bermuara pada keabadian, ketika manusia yang masih hidup dan yang sudah mati dipisahkan oleh sebuah ‘ruang pisah’, yang jaraknya tak teraba oleh disiplin ilmu apa saja. Kita yang masih hidup masih akan terus ‘ tergagap membaca kisah yang meresah’.

Namun baginya tak ada lagi resah apalagi gundah, sebab dia sudah berada di ‘ruang megah’ untuk selama-lamanya. Selamat jalan Bang Chory Marbawi.


Mendalo, April 2013