Sabtu, 04 April 2020

Esai



KRITIK CERPEN “SALAWAT DEDAUNAN” KARYA YANUSA NUGROHO

Oleh: Soerya Sandi

SALAWAT dedaunan terekam di harian kompas edisi minggu, 2 oktober 2011.  Bila membaca cerpen-cerpen Yanusa Nugroho (singkatnya YN) selalu saja “dihidangkan” diksi-diksi yang renyah dan tidak “mbeling”. Salah satu buktinya tentu ada di cerpen ini, seperti biasa YN memulainya dengan ketenangan. Bahasanya lugas dan sederhana namun mengantarkan pembaca kepada imajinasi yang tinggi. 

Sebagai ancang-ancang, maka saya perlu “berpegangan” erat pada “tiang konvensi” bagaimana cara memulai sebuah kritik cerpen. Maka untuk sementara ini saya berpegang pada empat “tiang” ini, pertama tentu memilih subjek, kemudian membaca, mengindentifikasi, serta menginterpretasi (Maman S Mahayana, 2006). Untuk langkah pertama dan kedua yakni memilih subjek serta membaca tentu sudah dapat kita “skip” untuk sementara waktu. Nah untuk itu kita bisa memulainya dengan mengidentifikasi serta menginterpretasi. 


Identifikasi
Dalam hal mengidentifikasi, Maman S Mahayana sendiri membedakannya menjadi dua macam kajian, yakni kajian formal dan fungsional. Fokus kajian formal adalah tentang struktur dan unsur sedangkan kajian fungsional adalah mengenai fungsi. Untuk kajian formal yang melibatkan struktur dan unsur tentu tidak dapat lepas dari unsur intrinsik yang membangunnya.

A. Kajian Formal

Unsur Intrinsik
1. Tema
Menurut Kinayati (2005:24) tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan pengarang lewat karyanya. Menurut Sudjiman (2006:79) tema adalah gagasan, ide ataupun pikiran utama dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Menurut Sudjiman, tema sentral dominan di dalam karya sastra dan ada tema-tema kecil lain di dalamnya yang disebut dengan tema sampingan.

Aspek religiusitas begitu lekat pada cerpen ini, hal itu tergambar pada plot per plot yang dilukiskan YN dengan menghadirkan beberapa tokoh dan seting yang melatarbelakangi cerpen. Keresah-gelisahan YN terhadap multifenomena kemuraman religiusitas yang terjadi pada realita masyarakat salah satunya coba dikupas oleh YN di dalam cerpennya. Seperti keadaan masjid yang selalu sepi terutama di siang hari, jamaah yang paling banyak cuma lima orang, belum lagi kondisi kas masjid yang tak jarang terisi.

2. Alur/Plot
Dick Hartoko (1948:149) berpendapat bahwa alur adalah deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita.
(Stanton dalam Nurgiantoro,2010:113) mengemukakan bahwa “plot adalah certia yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”. Hamidy (2001:26) alur cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau perangkat cerita dimana bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan, sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Bila didasarkan pada cara pengisahannya, cerpen ini memiliki alur campuran sebab ada tokoh bernama Haji Brahim yang ambil peran di bagian prolog cerita. Kemudian cerita dikisahkan  dari masa lalu yang diceritakan kembali. Sedangkan bila disimak berdasarkan cara bercerita atau mengakhiri cerita, cerpen ini dapat dikategorikan berplot lembut-meledak. 

Plot lembut-meledak adalah gabungan antara plot lembut dan plot meledak. Ini semua sekadar menerangkan bahwa dalam dunia sastra, selalu saja ada yang melenceng dari kriteria definitifnya (Arswendo, 2011). Dikatakan plotnya lembut meledak sebab pembaca pertama terbawa arus cerita yang tenang namun di bagian akhir ada semacam ledakan cerita yang tak disangka-sangka oleh pembaca. 

3. Penokohan
(Stanton dalam Nurgiantoro,1998:165) mengemukakan bahwa “penokohan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dalam cerpen bisa banyak tetapi berperan sebagai peran utama tidak lebih dari dua orang, tokoh lain berperan sebagai penegas keberadaan tokoh utamanya.
a. Haji Brahim adalah pengurus masjid, punya peran sebagai sumber cerita.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap jumat jumlah jemaah, paling banyak 45 orang.
b. Nenek, seorang tokoh sentral cerita yang menjadi pusat pengisahan. 
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. 

c. Aku, berperan sebagai posisi pengarang selaku orang yang mengisahkan kembali.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampunan.

4. Sudut Pandang
Point of view atau sudut pandang cerpen ini adalah orang ketiga pelaku utama. Tokoh Nenek di dalam cerita adalah sumber/pusat pengisahan, yang berposisi sebagai orang ketiga setelah Aku dan Haji Brahim.

5. Latar
(Aminuddin,2010:67) mengemukakan latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Tempat 
Pada umumnya latar pada cerpen salawat dedaunan bertempat di masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, temboknya tak berdaaun – hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. 

b. Waktu
1. Siang hari
Suatu siang, seudai shalat jumat, ketika orang-orang sudah lenyap entah ke  mana……….
2. Malam hari
Malam, itu Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek…..

c. Sosial
Cerita ini berlatarkan sosial masyarakat muslim, dapat dilihat pada latar tempat yang selalu melibatkan masjid di dalam ceritanya. 
Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang dating berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekedar memberinya minum. Dan semuanya selalu berjamaah di masjid.

6. Amanat
(Sudjiman, 2006: 57) dari sebuah karya satra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang. Pesan inilah yang dijadikan amanat. Cerpen karangan YN ini hendak berpesan kepada pembaca bahwa satu-satunya hal yang dirasa paling baik untuk mendorong perubahan sikap adalah dengan perbuatan. 

B. Kajian Fungsional
Salawat dedaunan dikemas dengan cerita yang sederhana serta bahasanya yang mudah diikuti, namun tetap memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Sebetulnya bila ditelusuri secara tematis, tema-tema seperti ini sudah banyak diangkat oleh pengarang-pengarang pada umumnya. 

Permasalahan serupa sebetulnya sudah pernah diusung oleh pengarang pendahulu seperti A.A navis dengan robohnya surau kami. Namun kemudian lahirlah beragam versi seiring dengan lahirnya transformasi kreatifitas. Khasanah lokalitas pada cerpen ini juga begitu lekat adanya. Namun, di sini pengarang memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Utami Munandar 1995:25). 

Biarpun cerpen ini mengarah pada cerita surealistik, namun kepiawaian YN sang empunya cerita memberikan kesan-kesan sederhana namun tetap survive, menjadikan cerpen ini terlihat luwes, dan tetap sensitive kepada kebaruan-kebaruan. Misalnya ketika terjadi multifenomena semacam orang-orang yang meminta sumbangan pembangunan mesjid di pinggir jalan, atau ke rumah-rumah. Membuat adanya anggapan dekonstruksi egaliter agama Islam dengan agama lain. Hal demikian menurut pandangan YN pada cerpennya tidaklah berbeda halnya dengan mengemis – mengiba untuk pembangunan masjid. Hal seperti itulah yang dipandang oleh YN yang menyebabkan erosi religiusitas di kalangan masyarakat., hingganya lahirlah cerpen tersebut. 


Interpretasi
Berdasarkan pelukisan latar serta tokoh, sudah nampak jelas betul jika Yanusa Nugroho akan mengurai sebuah epik keagamaan. Dan hampir dapat dipastikan kalau cerita nantinya akan berkembang di seputaran latar yang itu-itu saja. Namun, ternyata YN mampu menggugah dan merubah interpretasi pembaca terkait ungkapan “yang itu-itu saja” tersebut dengan mengadirkan tokoh nenek di dalam ceritanya. Tentu hal demikian bisa jadi semacam surprise dari penulis kepada pembaca. YN memulainya dengan lambat laun sebelum menghadirkan “actor epicentrum” di dalam ceritanya. Perhatikan kutipan berikut ini :

Sesaat sesudah orang tua itu berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“alaikum salam…nek”  jawab salah seorang pengurus, sambil mengangurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
“ ada apa?“ tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“ saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan” 

Pada adegan seorang pengurus memberikan uang 500-an kepada nenek tersebut, YN memandang hal demikian bisa dikategorikan ke dalam multifenomenal yang ada di pembahasan awal tadi. Fenomena itu sendiri terjadi akibat adanya tradisi atau kebiasaan yang berulang-ulang. Para pengurus masjid melihat sosok nenek yang bongkok, tua, serta ringkih yang mendatanginya sebagai seorang pengemis. Padahal penampilan demikian tidak selalu representatif bahwa orang yang seperti itu sudah pasti pengemis, maka mereka pun memberinya uang recehan. Pada kenyataannya si nenek tersebut ternyata bukanlah seorang pengemis ia sendiri malah berucap “saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan”.  
Yang menarik adalah kenapa si nenek mengatakan tidak perlu uang tapi perlu jalan ampunan? Jawabannya tentu sudah dilukiskan oleh YN dengan mendeskripsikan penampilan si nenek yang lusuh lagi bungkuk termakan usia, yang rasanya sudah tiada guna lagi artinya uang. Hingganya yang ia butuhkan adalah pertobatan menuju jalan ampunan. 

Di bagian lainnya YN menutupi kesederhanaan diksi yang digunakan dengan pengolahan kisah. Seperti pada kutipan berikut :
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya…
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyari menimbun permukaan halaman itu. 
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun mengambil sapu lidi.
“ jangan…jangan pakai sapu lidi…dan biarkan saya sendiri yang melakukan ini.”

Kepiawaian YN mengalirkan cerita dari lembut lalu meledak tentu menutupi diksi-diksinya yang lugas. Bila hendak dicermati, mengapa si nenek memunguti dedaunan itu dengan tangannya sendiri? tanpa bantuan sapu lidi bahkan ia ingin melakukannya sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu sebetulnya oleh YN dihadirkan pada adegan berikutnya.  
Setelah dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi. 

Setelah berhari-hari memunguti dedaunan yang berserakan di halaman masjid, si nenek akhirnya berpulang. Tak ada yang tahu apa maksud dari perbuatannya itu. Dari awal ia hanya berkata bahwa ia tak butuh uang, ia butuh jaan ampunan. Tapi, pertobatan semacam apa itu? Bahkan ia sendiri tidak shalat di saat tiba waktu shalat, ia tetap khusuk memunguti dedaunan seraya beristigfar pada setiap helainya. Tetapi senyatanya setelah itu halaman masjid menjadi bersih, tak ada lagi dedaunan yang berserak. Tapi barangkali nenek itu hadir sebagi contoh, dan setelahnya ..
yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai. 


Jambi, Juni 2013



Daftar Rujukan

----------, 2012. Dari salawat dedaunan sampai kunang-kunang di langit Jakarta. 20 tahun cerpen pilihan kompas. Jakarta: Gramedia.

Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu gampang. Jakarta: Gramedia.

Jabrohim (ed). 2012. Teori penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen – Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia.








0 komentar:

Posting Komentar

Profil

Foto saya
Soerya Sandi pseudonim dari Sandi Suryamat, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi. Beberapa cerpennya tersiar di media massa (Jambi Independent, Jambi Ekspres, Harian Jambi, Jambi Today, Majalah Pipet) dan diterbitkan ke dalam buku antologi cerpen bersama, antara lain Cinta Pertama (Sahabat Kata, Jakarta 2012), Belati Tembaga (Festival Sastra, Yogyakarta 2013) dan Riwayat Angin (Smart Writing, Yogyakarta 2013), Lurus Jalan Terus (Efarasti, Banten 2014), Jaran Kepang (Pucuk Langit, Makassar 2014). Buku tunggalnya yang telah terbit Ros Pulang (Salim Media Indonesia, 2015). Naskah lakonnya yang pernah dipentaskan adalah “Hematofobia” dan “Episode perjalanan” Pernah menjadi editor di salah satu penerbit di Jambi (2015 s.d. 2018). Sejak 2019 menjadi tenaga pengajar di SMAN 4 Sarolangun. Surel: soeryasandi@gmail.com, kontak 082373584575.

Sahabat

statistics

Kaleidoskop 2014

Kaleidoskop 2014

Esai



KRITIK CERPEN “SALAWAT DEDAUNAN” KARYA YANUSA NUGROHO

Oleh: Soerya Sandi

SALAWAT dedaunan terekam di harian kompas edisi minggu, 2 oktober 2011.  Bila membaca cerpen-cerpen Yanusa Nugroho (singkatnya YN) selalu saja “dihidangkan” diksi-diksi yang renyah dan tidak “mbeling”. Salah satu buktinya tentu ada di cerpen ini, seperti biasa YN memulainya dengan ketenangan. Bahasanya lugas dan sederhana namun mengantarkan pembaca kepada imajinasi yang tinggi. 

Sebagai ancang-ancang, maka saya perlu “berpegangan” erat pada “tiang konvensi” bagaimana cara memulai sebuah kritik cerpen. Maka untuk sementara ini saya berpegang pada empat “tiang” ini, pertama tentu memilih subjek, kemudian membaca, mengindentifikasi, serta menginterpretasi (Maman S Mahayana, 2006). Untuk langkah pertama dan kedua yakni memilih subjek serta membaca tentu sudah dapat kita “skip” untuk sementara waktu. Nah untuk itu kita bisa memulainya dengan mengidentifikasi serta menginterpretasi. 


Identifikasi
Dalam hal mengidentifikasi, Maman S Mahayana sendiri membedakannya menjadi dua macam kajian, yakni kajian formal dan fungsional. Fokus kajian formal adalah tentang struktur dan unsur sedangkan kajian fungsional adalah mengenai fungsi. Untuk kajian formal yang melibatkan struktur dan unsur tentu tidak dapat lepas dari unsur intrinsik yang membangunnya.

A. Kajian Formal

Unsur Intrinsik
1. Tema
Menurut Kinayati (2005:24) tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan pengarang lewat karyanya. Menurut Sudjiman (2006:79) tema adalah gagasan, ide ataupun pikiran utama dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Menurut Sudjiman, tema sentral dominan di dalam karya sastra dan ada tema-tema kecil lain di dalamnya yang disebut dengan tema sampingan.

Aspek religiusitas begitu lekat pada cerpen ini, hal itu tergambar pada plot per plot yang dilukiskan YN dengan menghadirkan beberapa tokoh dan seting yang melatarbelakangi cerpen. Keresah-gelisahan YN terhadap multifenomena kemuraman religiusitas yang terjadi pada realita masyarakat salah satunya coba dikupas oleh YN di dalam cerpennya. Seperti keadaan masjid yang selalu sepi terutama di siang hari, jamaah yang paling banyak cuma lima orang, belum lagi kondisi kas masjid yang tak jarang terisi.

2. Alur/Plot
Dick Hartoko (1948:149) berpendapat bahwa alur adalah deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita.
(Stanton dalam Nurgiantoro,2010:113) mengemukakan bahwa “plot adalah certia yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”. Hamidy (2001:26) alur cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau perangkat cerita dimana bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan, sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Bila didasarkan pada cara pengisahannya, cerpen ini memiliki alur campuran sebab ada tokoh bernama Haji Brahim yang ambil peran di bagian prolog cerita. Kemudian cerita dikisahkan  dari masa lalu yang diceritakan kembali. Sedangkan bila disimak berdasarkan cara bercerita atau mengakhiri cerita, cerpen ini dapat dikategorikan berplot lembut-meledak. 

Plot lembut-meledak adalah gabungan antara plot lembut dan plot meledak. Ini semua sekadar menerangkan bahwa dalam dunia sastra, selalu saja ada yang melenceng dari kriteria definitifnya (Arswendo, 2011). Dikatakan plotnya lembut meledak sebab pembaca pertama terbawa arus cerita yang tenang namun di bagian akhir ada semacam ledakan cerita yang tak disangka-sangka oleh pembaca. 

3. Penokohan
(Stanton dalam Nurgiantoro,1998:165) mengemukakan bahwa “penokohan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dalam cerpen bisa banyak tetapi berperan sebagai peran utama tidak lebih dari dua orang, tokoh lain berperan sebagai penegas keberadaan tokoh utamanya.
a. Haji Brahim adalah pengurus masjid, punya peran sebagai sumber cerita.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap jumat jumlah jemaah, paling banyak 45 orang.
b. Nenek, seorang tokoh sentral cerita yang menjadi pusat pengisahan. 
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. 

c. Aku, berperan sebagai posisi pengarang selaku orang yang mengisahkan kembali.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampunan.

4. Sudut Pandang
Point of view atau sudut pandang cerpen ini adalah orang ketiga pelaku utama. Tokoh Nenek di dalam cerita adalah sumber/pusat pengisahan, yang berposisi sebagai orang ketiga setelah Aku dan Haji Brahim.

5. Latar
(Aminuddin,2010:67) mengemukakan latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Tempat 
Pada umumnya latar pada cerpen salawat dedaunan bertempat di masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, temboknya tak berdaaun – hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. 

b. Waktu
1. Siang hari
Suatu siang, seudai shalat jumat, ketika orang-orang sudah lenyap entah ke  mana……….
2. Malam hari
Malam, itu Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek…..

c. Sosial
Cerita ini berlatarkan sosial masyarakat muslim, dapat dilihat pada latar tempat yang selalu melibatkan masjid di dalam ceritanya. 
Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang dating berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekedar memberinya minum. Dan semuanya selalu berjamaah di masjid.

6. Amanat
(Sudjiman, 2006: 57) dari sebuah karya satra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang. Pesan inilah yang dijadikan amanat. Cerpen karangan YN ini hendak berpesan kepada pembaca bahwa satu-satunya hal yang dirasa paling baik untuk mendorong perubahan sikap adalah dengan perbuatan. 

B. Kajian Fungsional
Salawat dedaunan dikemas dengan cerita yang sederhana serta bahasanya yang mudah diikuti, namun tetap memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Sebetulnya bila ditelusuri secara tematis, tema-tema seperti ini sudah banyak diangkat oleh pengarang-pengarang pada umumnya. 

Permasalahan serupa sebetulnya sudah pernah diusung oleh pengarang pendahulu seperti A.A navis dengan robohnya surau kami. Namun kemudian lahirlah beragam versi seiring dengan lahirnya transformasi kreatifitas. Khasanah lokalitas pada cerpen ini juga begitu lekat adanya. Namun, di sini pengarang memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Utami Munandar 1995:25). 

Biarpun cerpen ini mengarah pada cerita surealistik, namun kepiawaian YN sang empunya cerita memberikan kesan-kesan sederhana namun tetap survive, menjadikan cerpen ini terlihat luwes, dan tetap sensitive kepada kebaruan-kebaruan. Misalnya ketika terjadi multifenomena semacam orang-orang yang meminta sumbangan pembangunan mesjid di pinggir jalan, atau ke rumah-rumah. Membuat adanya anggapan dekonstruksi egaliter agama Islam dengan agama lain. Hal demikian menurut pandangan YN pada cerpennya tidaklah berbeda halnya dengan mengemis – mengiba untuk pembangunan masjid. Hal seperti itulah yang dipandang oleh YN yang menyebabkan erosi religiusitas di kalangan masyarakat., hingganya lahirlah cerpen tersebut. 


Interpretasi
Berdasarkan pelukisan latar serta tokoh, sudah nampak jelas betul jika Yanusa Nugroho akan mengurai sebuah epik keagamaan. Dan hampir dapat dipastikan kalau cerita nantinya akan berkembang di seputaran latar yang itu-itu saja. Namun, ternyata YN mampu menggugah dan merubah interpretasi pembaca terkait ungkapan “yang itu-itu saja” tersebut dengan mengadirkan tokoh nenek di dalam ceritanya. Tentu hal demikian bisa jadi semacam surprise dari penulis kepada pembaca. YN memulainya dengan lambat laun sebelum menghadirkan “actor epicentrum” di dalam ceritanya. Perhatikan kutipan berikut ini :

Sesaat sesudah orang tua itu berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“alaikum salam…nek”  jawab salah seorang pengurus, sambil mengangurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
“ ada apa?“ tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“ saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan” 

Pada adegan seorang pengurus memberikan uang 500-an kepada nenek tersebut, YN memandang hal demikian bisa dikategorikan ke dalam multifenomenal yang ada di pembahasan awal tadi. Fenomena itu sendiri terjadi akibat adanya tradisi atau kebiasaan yang berulang-ulang. Para pengurus masjid melihat sosok nenek yang bongkok, tua, serta ringkih yang mendatanginya sebagai seorang pengemis. Padahal penampilan demikian tidak selalu representatif bahwa orang yang seperti itu sudah pasti pengemis, maka mereka pun memberinya uang recehan. Pada kenyataannya si nenek tersebut ternyata bukanlah seorang pengemis ia sendiri malah berucap “saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan”.  
Yang menarik adalah kenapa si nenek mengatakan tidak perlu uang tapi perlu jalan ampunan? Jawabannya tentu sudah dilukiskan oleh YN dengan mendeskripsikan penampilan si nenek yang lusuh lagi bungkuk termakan usia, yang rasanya sudah tiada guna lagi artinya uang. Hingganya yang ia butuhkan adalah pertobatan menuju jalan ampunan. 

Di bagian lainnya YN menutupi kesederhanaan diksi yang digunakan dengan pengolahan kisah. Seperti pada kutipan berikut :
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya…
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyari menimbun permukaan halaman itu. 
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun mengambil sapu lidi.
“ jangan…jangan pakai sapu lidi…dan biarkan saya sendiri yang melakukan ini.”

Kepiawaian YN mengalirkan cerita dari lembut lalu meledak tentu menutupi diksi-diksinya yang lugas. Bila hendak dicermati, mengapa si nenek memunguti dedaunan itu dengan tangannya sendiri? tanpa bantuan sapu lidi bahkan ia ingin melakukannya sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu sebetulnya oleh YN dihadirkan pada adegan berikutnya.  
Setelah dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi. 

Setelah berhari-hari memunguti dedaunan yang berserakan di halaman masjid, si nenek akhirnya berpulang. Tak ada yang tahu apa maksud dari perbuatannya itu. Dari awal ia hanya berkata bahwa ia tak butuh uang, ia butuh jaan ampunan. Tapi, pertobatan semacam apa itu? Bahkan ia sendiri tidak shalat di saat tiba waktu shalat, ia tetap khusuk memunguti dedaunan seraya beristigfar pada setiap helainya. Tetapi senyatanya setelah itu halaman masjid menjadi bersih, tak ada lagi dedaunan yang berserak. Tapi barangkali nenek itu hadir sebagi contoh, dan setelahnya ..
yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai. 


Jambi, Juni 2013



Daftar Rujukan

----------, 2012. Dari salawat dedaunan sampai kunang-kunang di langit Jakarta. 20 tahun cerpen pilihan kompas. Jakarta: Gramedia.

Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu gampang. Jakarta: Gramedia.

Jabrohim (ed). 2012. Teori penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen – Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia.