Senin, 06 April 2020

Cerpen

ilustrasi: www.etsy.com


KAKTUS

Karya: Astriananda Syahrani*

AKU adalah seorang remaja yang berwajah tampan. Tinggal di suatu desa berlalu lintas jalan raya yang hampir setia harinya pemandangan mobil pengangkut hitamnya isi alam meramaikan suasana berbunyi meraung-raung. Menyulitkanku terlelap untuk melepas penatku. Kebetulan akhir-akhir ini desaku mengalam sedikit kemalangan. Yaitu dua bulan terakhir ini didesak itu kehausan, sama sekali tak terbasahi oleh air hujan yang amat penting bagi segala yang bernyawa di hamparan bumi ini.

Sore itu, aku duduk di beranda rumahku, menikmati bebasnya diri, ku melihat kakakku sedang menyirami tanaman yang berbunga di halaman rumahku. Semua tanaman uang ada terlihat layu kekurangan nutrisi dan dehidrasi, serta pucat seperti anemia. Tapi, ketika bola mataku sebuah tanaman yang tak begitu indah, namun tidak layu dan tetap segar (tegar) menghadapi cuaca bersuhu 30°C dan tanah yang keras dan kering kerontang itu.

Setelah melihat bunga itu, tanpa sengaja dan tiada terasa aku termenung, aku terbayang kejadinan 2 bulnan lalu, ketika ku berlibur di tempat pamanku. Disana ada seorang gadis cantik jelita sebayaku, yang sangat akrab denganku. Kami hampir selalu menghaniskan waktu bersama. Setiap pagi hari, kami berlari mencari keringat, mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh yang tak lagi berguna. Suatu ketika di pagi hari hampir selesai satu kompleks kami jelajahi. Kami kelelahan dan berehat mengendorkan otot kaki di sebuah ayunan yang ada di kompleks itu. Kami berdua berbincang sambil memperatikan sekitar. Hingga keempat bola mata kami terhenti keyika melihat seorang ibu tua berkepala 4 mungkin. Ia sedang mengais selokan, aku pun terhenyak melihat itu, aku pun bertanya kepada temanku itu unuk mencari tau siapa wanita itu. Temanku pun bercerita, ternyata wanita itu adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan motor. Kini dia menjadi orang tua sendiri dengan satu anaknya.

Di ujung ceritanya, temanku berucap,  "Dia itu kaktus." Aku bingung dengan konotasi itu. Aku bingung bercampur iba, temanku melanjutkan kalimatnya, dengn suara berat ia berkata, "Ya, ibu itu kaktus. Ia hidup sendiri ditemani tunasnya yang kecil. Tubuhnya berdur, tak semulus ibu-ibu lainnya yang ada di kompleks itu.” Yang cantik berbalut kain lembut bermotif inda dan menarik, wajah bertabur kosmetik cantik, berbulu mata lentik dan lingkaran logam kuning di leher tangan dan jarinya. Sedangkan ibu itu kumal, wajah hitam terbakar panasnya matahari dan tangannya dipenuhi lumpur kotor nan berbau. Namun dia tetap tegar mengais sedikit demi sedikit berkah dari Tuhan demi kehidpan ia dnan anaknya. Tetap tegar dan tak pernah gundah menghadapi keras dan keringnya kehidupan dimuka bumi ini. Ibu itu berakhlak mulia, ramah, baik hati dan rajin beribadah kepada sang khalik penciptanya. Menimbulkan aura keindahan dari dalam dirinya. 

Medegar penuturan yang pelan nan sedu itu, mataku berbinar dan hampir menimbulkan hujan gerimis lokal di mataku. Tiba-tiba, PRAK. Pukulan temanku di punggungku, membuatku tersadar dan terkejut . Aku pun marah dan geram, dengan tertawa liar temanku berlari dengan gesit. Aku pun kewalahan mengejarnya. Akan tetapi temanku terpeleset dan terjatuh karena terinjak jalanan yang basah, hingga menimbulkan luka lecet ditubuhnya, dia pun kubawa pulang ke rumahnya dengan cara memapahmya.

Dirumah, aku mengobati lukanya, dan menunggu nya seharian. Dikarenakan kedua orang tuanya sedang dapat kerja diluar kota. Dia sendirian dirumah terbaring lemas ditempat tidur, badan yang luka lecet tak bisa apa-apa karena kejadian tadi siang. Dengan ikhlas dan sabar aku menemani dan menuruti apa perintahnya.

Hingga ketika, dia memanggilku dan berucap, "Vino, terima kasih ya telah menemaniku seharian ini dan terimakasih telah membantu dan menjagaku. Ini salahku, sebabku karena ku ceroboh, tidak memperhatikan jalan, sehingga aku terluka. "

Sudahlah tidak apa, tak perlu menyalahkan diri sendiri. Dan tak perlu mengucapkan terima kasih, ini memang sudah tugasku untuk selalu menjaga dan menemani perempuanku yang sedang sakit. Seharusnya akulah yang berterima kasih padamu, karena kamu telah mau menjadi temanku dan bermain, berlari, tertawa bersamaku. Suka duka dan kenyamanan kurasakan saat bersamamu. Oleh karena itu, maukah kamu menjadi kekasihku? "Kekasih? tanya Vina.
" Iya, kekasihku, kamu mau kan jadi kekasihku?” 

Dengan perasaan bingung, lalu dia menjawab. Dia memberikan jawaban yang amat membuatku bersemangat untuk menjaganya, dan memperjuangkannya sebagai kekasih hati.
Jawaban Vina adalah, "Aku ini tak seindah mawar, tak sewangi melati. Aku berduri, jika kau ingin menemani dan menjaga ku, dan menjadikanku sebagai kekasihmu, maka kau harus rela terkena sakit dari duri ku terlebih dahulu. Ya, aku kaktus!"


*Siswi Kelas XI-1 SMAN 4 Sarolangun

1 komentar:

Profil

Foto saya
Soerya Sandi pseudonim dari Sandi Suryamat, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi. Beberapa cerpennya tersiar di media massa (Jambi Independent, Jambi Ekspres, Harian Jambi, Jambi Today, Majalah Pipet) dan diterbitkan ke dalam buku antologi cerpen bersama, antara lain Cinta Pertama (Sahabat Kata, Jakarta 2012), Belati Tembaga (Festival Sastra, Yogyakarta 2013) dan Riwayat Angin (Smart Writing, Yogyakarta 2013), Lurus Jalan Terus (Efarasti, Banten 2014), Jaran Kepang (Pucuk Langit, Makassar 2014). Buku tunggalnya yang telah terbit Ros Pulang (Salim Media Indonesia, 2015). Naskah lakonnya yang pernah dipentaskan adalah “Hematofobia” dan “Episode perjalanan” Pernah menjadi editor di salah satu penerbit di Jambi (2015 s.d. 2018). Sejak 2019 menjadi tenaga pengajar di SMAN 4 Sarolangun. Surel: soeryasandi@gmail.com, kontak 082373584575.

Sahabat

statistics

Kaleidoskop 2014

Kaleidoskop 2014

Cerpen

ilustrasi: www.etsy.com


KAKTUS

Karya: Astriananda Syahrani*

AKU adalah seorang remaja yang berwajah tampan. Tinggal di suatu desa berlalu lintas jalan raya yang hampir setia harinya pemandangan mobil pengangkut hitamnya isi alam meramaikan suasana berbunyi meraung-raung. Menyulitkanku terlelap untuk melepas penatku. Kebetulan akhir-akhir ini desaku mengalam sedikit kemalangan. Yaitu dua bulan terakhir ini didesak itu kehausan, sama sekali tak terbasahi oleh air hujan yang amat penting bagi segala yang bernyawa di hamparan bumi ini.

Sore itu, aku duduk di beranda rumahku, menikmati bebasnya diri, ku melihat kakakku sedang menyirami tanaman yang berbunga di halaman rumahku. Semua tanaman uang ada terlihat layu kekurangan nutrisi dan dehidrasi, serta pucat seperti anemia. Tapi, ketika bola mataku sebuah tanaman yang tak begitu indah, namun tidak layu dan tetap segar (tegar) menghadapi cuaca bersuhu 30°C dan tanah yang keras dan kering kerontang itu.

Setelah melihat bunga itu, tanpa sengaja dan tiada terasa aku termenung, aku terbayang kejadinan 2 bulnan lalu, ketika ku berlibur di tempat pamanku. Disana ada seorang gadis cantik jelita sebayaku, yang sangat akrab denganku. Kami hampir selalu menghaniskan waktu bersama. Setiap pagi hari, kami berlari mencari keringat, mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh yang tak lagi berguna. Suatu ketika di pagi hari hampir selesai satu kompleks kami jelajahi. Kami kelelahan dan berehat mengendorkan otot kaki di sebuah ayunan yang ada di kompleks itu. Kami berdua berbincang sambil memperatikan sekitar. Hingga keempat bola mata kami terhenti keyika melihat seorang ibu tua berkepala 4 mungkin. Ia sedang mengais selokan, aku pun terhenyak melihat itu, aku pun bertanya kepada temanku itu unuk mencari tau siapa wanita itu. Temanku pun bercerita, ternyata wanita itu adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan motor. Kini dia menjadi orang tua sendiri dengan satu anaknya.

Di ujung ceritanya, temanku berucap,  "Dia itu kaktus." Aku bingung dengan konotasi itu. Aku bingung bercampur iba, temanku melanjutkan kalimatnya, dengn suara berat ia berkata, "Ya, ibu itu kaktus. Ia hidup sendiri ditemani tunasnya yang kecil. Tubuhnya berdur, tak semulus ibu-ibu lainnya yang ada di kompleks itu.” Yang cantik berbalut kain lembut bermotif inda dan menarik, wajah bertabur kosmetik cantik, berbulu mata lentik dan lingkaran logam kuning di leher tangan dan jarinya. Sedangkan ibu itu kumal, wajah hitam terbakar panasnya matahari dan tangannya dipenuhi lumpur kotor nan berbau. Namun dia tetap tegar mengais sedikit demi sedikit berkah dari Tuhan demi kehidpan ia dnan anaknya. Tetap tegar dan tak pernah gundah menghadapi keras dan keringnya kehidupan dimuka bumi ini. Ibu itu berakhlak mulia, ramah, baik hati dan rajin beribadah kepada sang khalik penciptanya. Menimbulkan aura keindahan dari dalam dirinya. 

Medegar penuturan yang pelan nan sedu itu, mataku berbinar dan hampir menimbulkan hujan gerimis lokal di mataku. Tiba-tiba, PRAK. Pukulan temanku di punggungku, membuatku tersadar dan terkejut . Aku pun marah dan geram, dengan tertawa liar temanku berlari dengan gesit. Aku pun kewalahan mengejarnya. Akan tetapi temanku terpeleset dan terjatuh karena terinjak jalanan yang basah, hingga menimbulkan luka lecet ditubuhnya, dia pun kubawa pulang ke rumahnya dengan cara memapahmya.

Dirumah, aku mengobati lukanya, dan menunggu nya seharian. Dikarenakan kedua orang tuanya sedang dapat kerja diluar kota. Dia sendirian dirumah terbaring lemas ditempat tidur, badan yang luka lecet tak bisa apa-apa karena kejadian tadi siang. Dengan ikhlas dan sabar aku menemani dan menuruti apa perintahnya.

Hingga ketika, dia memanggilku dan berucap, "Vino, terima kasih ya telah menemaniku seharian ini dan terimakasih telah membantu dan menjagaku. Ini salahku, sebabku karena ku ceroboh, tidak memperhatikan jalan, sehingga aku terluka. "

Sudahlah tidak apa, tak perlu menyalahkan diri sendiri. Dan tak perlu mengucapkan terima kasih, ini memang sudah tugasku untuk selalu menjaga dan menemani perempuanku yang sedang sakit. Seharusnya akulah yang berterima kasih padamu, karena kamu telah mau menjadi temanku dan bermain, berlari, tertawa bersamaku. Suka duka dan kenyamanan kurasakan saat bersamamu. Oleh karena itu, maukah kamu menjadi kekasihku? "Kekasih? tanya Vina.
" Iya, kekasihku, kamu mau kan jadi kekasihku?” 

Dengan perasaan bingung, lalu dia menjawab. Dia memberikan jawaban yang amat membuatku bersemangat untuk menjaganya, dan memperjuangkannya sebagai kekasih hati.
Jawaban Vina adalah, "Aku ini tak seindah mawar, tak sewangi melati. Aku berduri, jika kau ingin menemani dan menjaga ku, dan menjadikanku sebagai kekasihmu, maka kau harus rela terkena sakit dari duri ku terlebih dahulu. Ya, aku kaktus!"


*Siswi Kelas XI-1 SMAN 4 Sarolangun