Jumat, 17 April 2020

Berkenalan dengan Puisi



Unsur- Unsur Pembangun Puisi

Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun, unsur-unsur tersebut bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa menngaitkan unsur-unsur lainnya. Unsur tersebut bersifat fungsional dalam susunannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya. Marjorie Bolton (dalam Hasanuddin, 2002: 34) membagi anatomi puisi atas dua aspek yakni

1) aspek bahasa yaitu bentuk fisik puisi yang mencakup penampilan sajak dalam bentuk nada dan larik sajak, termasuk di dalamnya irama, persamaan bunyi, intonasi, pengulangan dan perangkat kebahasaan lainnya.

2) Aspek isi yaitu bentuk mental yang mencakup tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan dan pola-pola citraan serta emosi.

Kedua aspek tersebut terjalin dan terkombinasi secara utuh yang akan membentuk makna, keindahan dan imajinasi dalam puisi. Unsur yang membangun bahasa puisi adalah (1) diksi, (2) imaji, (3) kata konkret, (4) gaya bahasa, (5) rima dan ritme, (6) tipografi (Waluyo, 1995: 32).

1) Diksi
Diksi adalah kata-kata yang dipilih bermakna tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan dengan pokok pembicaraan. Kata-kata merupakan hasil pertimbangan, baik dari segi makna, susunan bunyi, maupun hubungan kata dengan kata lain dalam larik dan baitnya. Kata-kata dalam puisi bersifat konotatif. Makna yang dilahirkan biasanya lebih dari satu makna. Kata yang dipilih memiliki keindahan bunyi dan selaras satu sama lain sehingga tercipta harmonisasi.

2) Imaji
Imaji adalah kilasan bayangan yang muncul dalam pemikiran pembaca. Imaji dimanfaatkan oleh penyair untuk menuangkan pengalaman dalam bentuk sajak. Sementara itu imaji juga digunakan untuk menjemput pengalaman pembaca yang sesuai dengan pengalaman penyair. Dengan daya imajinasi tersebut, pembaca seolah-olah merasa, mendengar, dan melihat sesuatu yang diungkapkan penyair.

3) Kata konkret
Yakni untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Jika penyair pandai memperjelas mengkonkritkan kata, pembaca seolah  turut merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair lewat sajaknya.

4) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengungkapan dan penggunaan bahasa agar daya tarik puisi bertambah.

5) Rima dan Ritme
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan itu biasanya berpola sehingga menghasilkan bunyi akhir yang sama dan indah untuk didengar. Sementara ritme maknai sebagai pengulangan kata, frasa, atau kalimat dalam setiap larik dan bait puisi.

6) Tipografi
Tipografi dikenal juga sebagai tata wajah dalam puisi. Hal ini yang menjadi pembeda antara puisi dengan karya sastra lain seperti prosa dan drama. Dalam puisi kontemporer seperti puisi Sutardji Calzoum Bahri, tipografi punya peranan penting dalam membangun sebuah keindahan sehingga kedudukan makna tergeser.

Read More

Jumat, 10 April 2020

Seri Penggunaan Tanda Baca


Tanda Titik Koma (;)

1. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara yang satu dengan kalimat setara yang lain di dalam kalimat majemuk.
    Misalnya:
- Hari sudah malam; anak-anak masih membaca buku.
- Ayah menyelesaikan pekerjaan; Ibu menulis makalah; Adik membaca cerita rakyat.

2. Tanda titik koma dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa.
    Misalnya:
Syarat penerimaan karyawan di perusahaan ini adalah
    1) berkewarganegaraan Indonesia;
    2) berijazah sarjana;
    3) berbadan sehat;
    4) berbadan sehat; dan
    5) bersedia ditempatkan di wilayah manapun.

3. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian pemerincian dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda koma.
    Misalnya:
Ibu membeli buku, pensil dan tinta: baju, celana, dan kaus; pisang, apel dan jeruk.
Agenda rapat ini meliputi
1) pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara;
2) penyusunan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan program kerja; dan
3) pendataan anggota, dokumentasi, dan aset organisasi

Sumber: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

Read More

Kamis, 09 April 2020

Seri Penggunaan Tanda Baca



Tanda Elipsis (…)

1. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau kutipan ada bagian yang dihilangkan.

Misalnya:
    - Penyebab degradasi … akan diteliti lebih lanjut.
    - Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara ialah ….
    - …, lain lubuk lain ikannya.

2. Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.

Misalnya:
    - “Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?”
    - “Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.”

Catatan: 
  • Tanda elipsis didahului dan diikuti dengan spasi.
  • Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik menjadi empat buah)

Sumber: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

Read More

Senin, 06 April 2020

Cerpen

ilustrasi: www.etsy.com


KAKTUS

Karya: Astriananda Syahrani*

AKU adalah seorang remaja yang berwajah tampan. Tinggal di suatu desa berlalu lintas jalan raya yang hampir setia harinya pemandangan mobil pengangkut hitamnya isi alam meramaikan suasana berbunyi meraung-raung. Menyulitkanku terlelap untuk melepas penatku. Kebetulan akhir-akhir ini desaku mengalam sedikit kemalangan. Yaitu dua bulan terakhir ini didesak itu kehausan, sama sekali tak terbasahi oleh air hujan yang amat penting bagi segala yang bernyawa di hamparan bumi ini.

Sore itu, aku duduk di beranda rumahku, menikmati bebasnya diri, ku melihat kakakku sedang menyirami tanaman yang berbunga di halaman rumahku. Semua tanaman uang ada terlihat layu kekurangan nutrisi dan dehidrasi, serta pucat seperti anemia. Tapi, ketika bola mataku sebuah tanaman yang tak begitu indah, namun tidak layu dan tetap segar (tegar) menghadapi cuaca bersuhu 30°C dan tanah yang keras dan kering kerontang itu.

Setelah melihat bunga itu, tanpa sengaja dan tiada terasa aku termenung, aku terbayang kejadinan 2 bulnan lalu, ketika ku berlibur di tempat pamanku. Disana ada seorang gadis cantik jelita sebayaku, yang sangat akrab denganku. Kami hampir selalu menghaniskan waktu bersama. Setiap pagi hari, kami berlari mencari keringat, mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh yang tak lagi berguna. Suatu ketika di pagi hari hampir selesai satu kompleks kami jelajahi. Kami kelelahan dan berehat mengendorkan otot kaki di sebuah ayunan yang ada di kompleks itu. Kami berdua berbincang sambil memperatikan sekitar. Hingga keempat bola mata kami terhenti keyika melihat seorang ibu tua berkepala 4 mungkin. Ia sedang mengais selokan, aku pun terhenyak melihat itu, aku pun bertanya kepada temanku itu unuk mencari tau siapa wanita itu. Temanku pun bercerita, ternyata wanita itu adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan motor. Kini dia menjadi orang tua sendiri dengan satu anaknya.

Di ujung ceritanya, temanku berucap,  "Dia itu kaktus." Aku bingung dengan konotasi itu. Aku bingung bercampur iba, temanku melanjutkan kalimatnya, dengn suara berat ia berkata, "Ya, ibu itu kaktus. Ia hidup sendiri ditemani tunasnya yang kecil. Tubuhnya berdur, tak semulus ibu-ibu lainnya yang ada di kompleks itu.” Yang cantik berbalut kain lembut bermotif inda dan menarik, wajah bertabur kosmetik cantik, berbulu mata lentik dan lingkaran logam kuning di leher tangan dan jarinya. Sedangkan ibu itu kumal, wajah hitam terbakar panasnya matahari dan tangannya dipenuhi lumpur kotor nan berbau. Namun dia tetap tegar mengais sedikit demi sedikit berkah dari Tuhan demi kehidpan ia dnan anaknya. Tetap tegar dan tak pernah gundah menghadapi keras dan keringnya kehidupan dimuka bumi ini. Ibu itu berakhlak mulia, ramah, baik hati dan rajin beribadah kepada sang khalik penciptanya. Menimbulkan aura keindahan dari dalam dirinya. 

Medegar penuturan yang pelan nan sedu itu, mataku berbinar dan hampir menimbulkan hujan gerimis lokal di mataku. Tiba-tiba, PRAK. Pukulan temanku di punggungku, membuatku tersadar dan terkejut . Aku pun marah dan geram, dengan tertawa liar temanku berlari dengan gesit. Aku pun kewalahan mengejarnya. Akan tetapi temanku terpeleset dan terjatuh karena terinjak jalanan yang basah, hingga menimbulkan luka lecet ditubuhnya, dia pun kubawa pulang ke rumahnya dengan cara memapahmya.

Dirumah, aku mengobati lukanya, dan menunggu nya seharian. Dikarenakan kedua orang tuanya sedang dapat kerja diluar kota. Dia sendirian dirumah terbaring lemas ditempat tidur, badan yang luka lecet tak bisa apa-apa karena kejadian tadi siang. Dengan ikhlas dan sabar aku menemani dan menuruti apa perintahnya.

Hingga ketika, dia memanggilku dan berucap, "Vino, terima kasih ya telah menemaniku seharian ini dan terimakasih telah membantu dan menjagaku. Ini salahku, sebabku karena ku ceroboh, tidak memperhatikan jalan, sehingga aku terluka. "

Sudahlah tidak apa, tak perlu menyalahkan diri sendiri. Dan tak perlu mengucapkan terima kasih, ini memang sudah tugasku untuk selalu menjaga dan menemani perempuanku yang sedang sakit. Seharusnya akulah yang berterima kasih padamu, karena kamu telah mau menjadi temanku dan bermain, berlari, tertawa bersamaku. Suka duka dan kenyamanan kurasakan saat bersamamu. Oleh karena itu, maukah kamu menjadi kekasihku? "Kekasih? tanya Vina.
" Iya, kekasihku, kamu mau kan jadi kekasihku?” 

Dengan perasaan bingung, lalu dia menjawab. Dia memberikan jawaban yang amat membuatku bersemangat untuk menjaganya, dan memperjuangkannya sebagai kekasih hati.
Jawaban Vina adalah, "Aku ini tak seindah mawar, tak sewangi melati. Aku berduri, jika kau ingin menemani dan menjaga ku, dan menjadikanku sebagai kekasihmu, maka kau harus rela terkena sakit dari duri ku terlebih dahulu. Ya, aku kaktus!"


*Siswi Kelas XI-1 SMAN 4 Sarolangun
Read More

Sabtu, 04 April 2020

Esai



KRITIK CERPEN “SALAWAT DEDAUNAN” KARYA YANUSA NUGROHO

Oleh: Soerya Sandi

SALAWAT dedaunan terekam di harian kompas edisi minggu, 2 oktober 2011.  Bila membaca cerpen-cerpen Yanusa Nugroho (singkatnya YN) selalu saja “dihidangkan” diksi-diksi yang renyah dan tidak “mbeling”. Salah satu buktinya tentu ada di cerpen ini, seperti biasa YN memulainya dengan ketenangan. Bahasanya lugas dan sederhana namun mengantarkan pembaca kepada imajinasi yang tinggi. 

Sebagai ancang-ancang, maka saya perlu “berpegangan” erat pada “tiang konvensi” bagaimana cara memulai sebuah kritik cerpen. Maka untuk sementara ini saya berpegang pada empat “tiang” ini, pertama tentu memilih subjek, kemudian membaca, mengindentifikasi, serta menginterpretasi (Maman S Mahayana, 2006). Untuk langkah pertama dan kedua yakni memilih subjek serta membaca tentu sudah dapat kita “skip” untuk sementara waktu. Nah untuk itu kita bisa memulainya dengan mengidentifikasi serta menginterpretasi. 


Identifikasi
Dalam hal mengidentifikasi, Maman S Mahayana sendiri membedakannya menjadi dua macam kajian, yakni kajian formal dan fungsional. Fokus kajian formal adalah tentang struktur dan unsur sedangkan kajian fungsional adalah mengenai fungsi. Untuk kajian formal yang melibatkan struktur dan unsur tentu tidak dapat lepas dari unsur intrinsik yang membangunnya.

A. Kajian Formal

Unsur Intrinsik
1. Tema
Menurut Kinayati (2005:24) tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan pengarang lewat karyanya. Menurut Sudjiman (2006:79) tema adalah gagasan, ide ataupun pikiran utama dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Menurut Sudjiman, tema sentral dominan di dalam karya sastra dan ada tema-tema kecil lain di dalamnya yang disebut dengan tema sampingan.

Aspek religiusitas begitu lekat pada cerpen ini, hal itu tergambar pada plot per plot yang dilukiskan YN dengan menghadirkan beberapa tokoh dan seting yang melatarbelakangi cerpen. Keresah-gelisahan YN terhadap multifenomena kemuraman religiusitas yang terjadi pada realita masyarakat salah satunya coba dikupas oleh YN di dalam cerpennya. Seperti keadaan masjid yang selalu sepi terutama di siang hari, jamaah yang paling banyak cuma lima orang, belum lagi kondisi kas masjid yang tak jarang terisi.

2. Alur/Plot
Dick Hartoko (1948:149) berpendapat bahwa alur adalah deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita.
(Stanton dalam Nurgiantoro,2010:113) mengemukakan bahwa “plot adalah certia yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”. Hamidy (2001:26) alur cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau perangkat cerita dimana bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan, sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Bila didasarkan pada cara pengisahannya, cerpen ini memiliki alur campuran sebab ada tokoh bernama Haji Brahim yang ambil peran di bagian prolog cerita. Kemudian cerita dikisahkan  dari masa lalu yang diceritakan kembali. Sedangkan bila disimak berdasarkan cara bercerita atau mengakhiri cerita, cerpen ini dapat dikategorikan berplot lembut-meledak. 

Plot lembut-meledak adalah gabungan antara plot lembut dan plot meledak. Ini semua sekadar menerangkan bahwa dalam dunia sastra, selalu saja ada yang melenceng dari kriteria definitifnya (Arswendo, 2011). Dikatakan plotnya lembut meledak sebab pembaca pertama terbawa arus cerita yang tenang namun di bagian akhir ada semacam ledakan cerita yang tak disangka-sangka oleh pembaca. 

3. Penokohan
(Stanton dalam Nurgiantoro,1998:165) mengemukakan bahwa “penokohan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dalam cerpen bisa banyak tetapi berperan sebagai peran utama tidak lebih dari dua orang, tokoh lain berperan sebagai penegas keberadaan tokoh utamanya.
a. Haji Brahim adalah pengurus masjid, punya peran sebagai sumber cerita.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap jumat jumlah jemaah, paling banyak 45 orang.
b. Nenek, seorang tokoh sentral cerita yang menjadi pusat pengisahan. 
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. 

c. Aku, berperan sebagai posisi pengarang selaku orang yang mengisahkan kembali.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampunan.

4. Sudut Pandang
Point of view atau sudut pandang cerpen ini adalah orang ketiga pelaku utama. Tokoh Nenek di dalam cerita adalah sumber/pusat pengisahan, yang berposisi sebagai orang ketiga setelah Aku dan Haji Brahim.

5. Latar
(Aminuddin,2010:67) mengemukakan latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Tempat 
Pada umumnya latar pada cerpen salawat dedaunan bertempat di masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, temboknya tak berdaaun – hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. 

b. Waktu
1. Siang hari
Suatu siang, seudai shalat jumat, ketika orang-orang sudah lenyap entah ke  mana……….
2. Malam hari
Malam, itu Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek…..

c. Sosial
Cerita ini berlatarkan sosial masyarakat muslim, dapat dilihat pada latar tempat yang selalu melibatkan masjid di dalam ceritanya. 
Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang dating berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekedar memberinya minum. Dan semuanya selalu berjamaah di masjid.

6. Amanat
(Sudjiman, 2006: 57) dari sebuah karya satra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang. Pesan inilah yang dijadikan amanat. Cerpen karangan YN ini hendak berpesan kepada pembaca bahwa satu-satunya hal yang dirasa paling baik untuk mendorong perubahan sikap adalah dengan perbuatan. 

B. Kajian Fungsional
Salawat dedaunan dikemas dengan cerita yang sederhana serta bahasanya yang mudah diikuti, namun tetap memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Sebetulnya bila ditelusuri secara tematis, tema-tema seperti ini sudah banyak diangkat oleh pengarang-pengarang pada umumnya. 

Permasalahan serupa sebetulnya sudah pernah diusung oleh pengarang pendahulu seperti A.A navis dengan robohnya surau kami. Namun kemudian lahirlah beragam versi seiring dengan lahirnya transformasi kreatifitas. Khasanah lokalitas pada cerpen ini juga begitu lekat adanya. Namun, di sini pengarang memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Utami Munandar 1995:25). 

Biarpun cerpen ini mengarah pada cerita surealistik, namun kepiawaian YN sang empunya cerita memberikan kesan-kesan sederhana namun tetap survive, menjadikan cerpen ini terlihat luwes, dan tetap sensitive kepada kebaruan-kebaruan. Misalnya ketika terjadi multifenomena semacam orang-orang yang meminta sumbangan pembangunan mesjid di pinggir jalan, atau ke rumah-rumah. Membuat adanya anggapan dekonstruksi egaliter agama Islam dengan agama lain. Hal demikian menurut pandangan YN pada cerpennya tidaklah berbeda halnya dengan mengemis – mengiba untuk pembangunan masjid. Hal seperti itulah yang dipandang oleh YN yang menyebabkan erosi religiusitas di kalangan masyarakat., hingganya lahirlah cerpen tersebut. 


Interpretasi
Berdasarkan pelukisan latar serta tokoh, sudah nampak jelas betul jika Yanusa Nugroho akan mengurai sebuah epik keagamaan. Dan hampir dapat dipastikan kalau cerita nantinya akan berkembang di seputaran latar yang itu-itu saja. Namun, ternyata YN mampu menggugah dan merubah interpretasi pembaca terkait ungkapan “yang itu-itu saja” tersebut dengan mengadirkan tokoh nenek di dalam ceritanya. Tentu hal demikian bisa jadi semacam surprise dari penulis kepada pembaca. YN memulainya dengan lambat laun sebelum menghadirkan “actor epicentrum” di dalam ceritanya. Perhatikan kutipan berikut ini :

Sesaat sesudah orang tua itu berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“alaikum salam…nek”  jawab salah seorang pengurus, sambil mengangurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
“ ada apa?“ tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“ saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan” 

Pada adegan seorang pengurus memberikan uang 500-an kepada nenek tersebut, YN memandang hal demikian bisa dikategorikan ke dalam multifenomenal yang ada di pembahasan awal tadi. Fenomena itu sendiri terjadi akibat adanya tradisi atau kebiasaan yang berulang-ulang. Para pengurus masjid melihat sosok nenek yang bongkok, tua, serta ringkih yang mendatanginya sebagai seorang pengemis. Padahal penampilan demikian tidak selalu representatif bahwa orang yang seperti itu sudah pasti pengemis, maka mereka pun memberinya uang recehan. Pada kenyataannya si nenek tersebut ternyata bukanlah seorang pengemis ia sendiri malah berucap “saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan”.  
Yang menarik adalah kenapa si nenek mengatakan tidak perlu uang tapi perlu jalan ampunan? Jawabannya tentu sudah dilukiskan oleh YN dengan mendeskripsikan penampilan si nenek yang lusuh lagi bungkuk termakan usia, yang rasanya sudah tiada guna lagi artinya uang. Hingganya yang ia butuhkan adalah pertobatan menuju jalan ampunan. 

Di bagian lainnya YN menutupi kesederhanaan diksi yang digunakan dengan pengolahan kisah. Seperti pada kutipan berikut :
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya…
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyari menimbun permukaan halaman itu. 
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun mengambil sapu lidi.
“ jangan…jangan pakai sapu lidi…dan biarkan saya sendiri yang melakukan ini.”

Kepiawaian YN mengalirkan cerita dari lembut lalu meledak tentu menutupi diksi-diksinya yang lugas. Bila hendak dicermati, mengapa si nenek memunguti dedaunan itu dengan tangannya sendiri? tanpa bantuan sapu lidi bahkan ia ingin melakukannya sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu sebetulnya oleh YN dihadirkan pada adegan berikutnya.  
Setelah dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi. 

Setelah berhari-hari memunguti dedaunan yang berserakan di halaman masjid, si nenek akhirnya berpulang. Tak ada yang tahu apa maksud dari perbuatannya itu. Dari awal ia hanya berkata bahwa ia tak butuh uang, ia butuh jaan ampunan. Tapi, pertobatan semacam apa itu? Bahkan ia sendiri tidak shalat di saat tiba waktu shalat, ia tetap khusuk memunguti dedaunan seraya beristigfar pada setiap helainya. Tetapi senyatanya setelah itu halaman masjid menjadi bersih, tak ada lagi dedaunan yang berserak. Tapi barangkali nenek itu hadir sebagi contoh, dan setelahnya ..
yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai. 


Jambi, Juni 2013



Daftar Rujukan

----------, 2012. Dari salawat dedaunan sampai kunang-kunang di langit Jakarta. 20 tahun cerpen pilihan kompas. Jakarta: Gramedia.

Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu gampang. Jakarta: Gramedia.

Jabrohim (ed). 2012. Teori penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen – Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia.








Read More

Jumat, 03 April 2020

Karya Siswa


SEPENGGAL CERITA MENUJU SERENDIPITY

Karya Anggel Anggreini*

AKU Ahtisa Mangola, teman-temanku sering memanggilku Tisam sedangkan keluargaku memanggiku Ola. Aku anak  pertama dari pasangan Beni Sukiman  dan Leni Lestari.Aku mempunyai seorang adik bernama Ella Mangola. Banyak  orang  bertanya Apa  cita-citaku? Aku selalu menjawab “Aku ingin menjadi Maudy Ayunda sang aktris cantik  dan cerdas yang bisa menjadi  salah  satu mahasiswi  di  Stanford  University  “,  terkadang  aku menjawab “ Aku ingin menjadi seperti Ariska Putri Pertiwi dan Kevin Liliana sang Puteri  Indonesia yang bisa menjadi ratu dunia  dalam ajang internasional,yaitu Miss Grand International dan Miss International “. Itulah aku,seorang remaja yang masih bingung  dengan cita-citaku sendiri.

Hari  ini merupakan hari  terburuk yang  pernah aku  alami  ,dimulai dari  keterlambatan ke  sekolah sampai kebingunganku menentukan cita- cita.Masih ku  ingat  pagi  tadi  motor   ayah  rusak karena rantainya putus sehingga aku  harus berjalan kaki  menuju   sekolah. “Yang di  luar  pagar itu,cepat  masuk”  ,ujar  bu  Nadia.   Mendengar  itu  aku   berjalan  dengan tergesa-gesa menuju  ibu Nadia,”Pagi ibu cantik,” kataku sambil tersenyum manis. Sebenarnya aku  ingin  merayu  agar  tidak  diberi  hukuman karena terlambat “ ngak  perlu  senyum-senyum sambil memuji  saya,sebab kamu juga harus dihukum  karena keterlambatanmu,lagi pula ibu memang sudah cantik  dari lahir.” Balasnya. Aku menundukkan kepala sambil menyembunyikan tawaku.Kemudian aku  langsung menjalankan hukuman dari bu Nadia  itu.Setelah itu,aku langsung menuju  ke kelas untuk  belajar. Sesampai di kelas aku langsung disambut dengan kehebohan teman sekelasku.

“Kenapa pada ribut sih? “ tanyaku.

“Itu di depan ruang  kepala sekolah ada  kakak-kakak ganteng.” Ujar Leyla

“Kata  anak   kelas  sebelah  ,itu  guru  baru.”  Sambung Vivi dengan
nada cuek.

Setelah itu  kami  mendengar pemberitahuan bahwa seluruh anak kelas XII harus ke lapangan depan. Aku dan yang lainnya langsung menuju ke lapangan. Sesampainya di lapangan ,kami disuruh duduk  sesuai kelas kami.Aku langsung menuju  ke barisan kelasku yaitu XII-2. Setelah semua duduk dan diam,salah satu dari 5 kakak-kakak itu mulai berbicara.

“Assalamualaikum adek-adek, disini kami  dari Sekolah Tinggi Ilmu
Pemerintahan  Bojonegoro  ingin  mempromosikan  bahwasanya  jika adek- adek  sekalian  ingin  melanjutkan  sekolah  ke  peguruan tinggi,  adek-adek bisa memilih  peguruan kami  ini.” Kata  kakak  tersebut dan  masih banyak lagi yang disampaikan kakak-kakak itu,aku tidak  terlalu  fokus dengan apa yang    dibicarakannya   karena   aku    lagi    memikirkan   apa    aku    ingin melanjutkan sekolah ke sekolah itu atau  tidak, karena yang kudengar peguruan tinggi tersebut banyak  menghasilkan lulusan terbaik  dari segala bidang. Mendengar itu aku semakin bingung  dengan kelanjutan sekolahku ini karena tinggal  menunggu beberapa bulan  lagi aku akan  meninggalkan sekolah ini [SMA Negeri 4 Bojonegoro ]. Aku melihat semua orang  sangat antusias dengan hal  ini sehingga hal  ini menjadi buah  bibir  dikalangan kelas XII .

“Ola,kok kamu  dari  pulang   sekolah kerjaannya bengong mulu, di sekolah ada  yang nyakitin kamu atau  ada  masalah lain?” tanya  ibuku.

“Ngak ada  apa-apa bu,cuman aku bingung  dengan kelanjutan sekolahku nanti” balasku.

“Waktu  kelas  X dulu  kamu   bilang  ke  ibu,kamu  ingin  jadi  orang sukses dan terkenal seperti idola-idolamu itu “ kata ibu.

”Dulu ketika  kelas X aku  belum  kepikiran  bu,kalau memilih  jurusan itu susah.Aku cuman tahunya kalau  aku ingin menjadi seperti orang-orang yang  aku  lihat  di TV karena dia sukses,cantik,cerdas,dan memiliki postur tubuh  yang  bagus tapi  ternyata realita  ngak  semanis ekspetasi” balasku sambil memandang ke luar jendela yang  masih dipenuhi  dengan pohon–pohon yang asri

“Menurut ibu kamu harus memilih jurusan sesuai kemampun kamu.” Kata ibu . Setelah tu ia menuju  ke dapur  untuk  membut kopi untuk  ayahku yang baru pulang  dari sawah.

Hari  itu  tiba,  hari  dimana  aku  akan   meninggalkan  sekolah  yang selama tiga  tahun  ini aku  tempati ,  dimulai  dari  kisah bahagia maupun sedih. Aku melihat orang-orang disekelilingku menunjukan ekspresi yang berbeda-beda,  ada   yang   bersorak  bahagia  karena  akan   meninggalkan sekolah ini dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan ingin cepat-cepat masuk perguruaan tinggi dan  ada  pula yang dikabarkan ia bahagia karena ingin menikah. Selain itu ada  yang berekspresi sedih sebab akan  berpisah dengan teman-temannya,ada yang berekspresi biasa saja, sampai ada sebagian orang  yang menunjukan ekspresi uring-uringan karena akan meninggalkan sang kekasih tercinta, adik kelas X dan XI.

Sedangkan aku sibuk memikiran tentang kelanjutan sekolaku.

“ Kamu  mau  ngelanjut  dimana,  Tisam”  tanya  Rian, sang  mantan ketua  osis

“ Belum tahu “ jawabku  sedikit cuek

“ Kok jawabnya cuek banget, kata orang  anak  gadis itu ngak baik loh judes sama cowok.  Nanti ngak ada  yang mau “ jawabnya dengan nada sok bijak

“  Sok  tahu  kamu! Lagi pula  ngak  apa-apa kok  jika semua cowok ngak  mau  sama aku.  Sebab sekarang itu bukan  waktunya mencari pacar tapi   sekarang  waktunya untuk   fokus dengan  masa  depan  “   jawabku dengan serius. Setelah itu aku  langsung berpamitan kepada Rian menuju ke kantin untuk makan .

“  Banyak  orang   yang  menyukaimu  ,Tisam.  Termasuk  aku  tetapi kamu  tidak  pernah peka  dengan perasaanku  ini “  gumam Rian  sambil memandang tubuh  Ahtisa yang lama-kelamaan ditelan  dinding.

Disini aku,ditengah keramaian siswa-siswi yang berlalu lalang di perkarangan salah satu Universitas di Jakarta. Ya aku sudah menentukan jurusan  apa   yang   mau   aku  ambil   yaitu  jurusan  hukum   seperti  Nadia Purwoko,  si  gadis  cantik   dari  Bengkulu  yang  dinobatkan  sebagai  Miss Grand   Indonesia  dan   menjadi  2nd     RU  Miss  Grand   International.  Hari pertama aku di sini sangat bagus karena aku sudah mendapatkan teman- teman baru.

Pada bulan  pertama dan  kedua, aku  menjalankan mata kuliahku dengan semangat tetapi pada bulan  selanjutnya aku mulai merasa ketidakcocokan  diriku  dengan  jurusan  yang  ku  ambil  ,dan  dari  sinilah masalah terbesarku  dimulai  ,dari ketidaknyambunganku dengan teorinya dan   ketertarikanku  dengan  jurusan  kedokteran.Walaupun  banyak   yang bilang kodekteran itu lebih susah dari hukum  tetapi kekeras kepalaku yang membuat aku tidak  mengindahi ucapan dari orang-orang termasuk orang tuaku  sendiri.

“Tisam, jika kamu  ingin jurusan kedokteran kamu  jangan bermain- main  nak karena ini bukan  hal yang sepele. Dilihat dari sifatmu ini ibu dan bapak takut  jika kamu  tidak  bisa menyelesaikan mata kuliahmu  ini “ ucap ibu

“ Ngak bu, sekarang Ola sangat sungguh-sungguh dan akan menyelesaikan  dengan baik  bahkan akan  membanggakan ibu  dan  ayah “ jawabku

“ Ibu bukan  ngak percaya, tapi kamu harus memikirkan ayahmu nak, biaya  kuliah  itu  mahal dan  lagi  pula  sekarang ini musim kemarau. Jadi hasil padi ayahmu tidak selancar dan sebagus dulu “ tambah ibu


“  Iya  bu,  insyaallah  Ola tidak  akan  mengecewakan ayah  dan  ibu,” ucapku sambil memeluk ibuku.

Mengingat percakapan aku dan  ibu waktu  itu,aku sangat berusaha untuk     mendapatkan   hasil    yang    baik    dan     pulang     ke    kampung membanggakan  kedua   orang   tuaku   dengan  gelarku   sebagaai  dokter. Setahun sudah ku jalani hidupku  dalam dunia  perkuliahan kedokteran dan allhamdulillah sampai di sini tidak ada  rintangan yang sulit untuk aku jalani.

“ Tisam kamu  dipanggil  bu Lisa,katanya kamu  langsung datang ke ruangannya  karena  ada   yang   harus  dibicarakan  “   kata   Rose,  teman terdekatku di sini  yang  berasal  dari  keluarga  yang  sederhana sepertiku juga.  Mendengar hal  itu  aku  langsung menuju  ke  ruangan bu Lisa,sesampainya  di  sana  aku   disuruh  duduk   dan   mendengar  hal  ini dengan baik-baik.

“ Ahtisa kamu  semester ini belum  membayar uang  sekolah “ ucap bu Lisa

“  Iya bu, orang  tua  saya semester ini belum  mengirimkan uang,mungkin hasil sawah ayah saya ngak bagus bu “ balasku

“ Nanti  setelah  keluar  dari sini,  kamu  langsung  beritahu  orang  tua mu ya “ kata bu Lisa dengan lembut disertai senyum manisnya

“  Iya bu, akan  saya kasih tahu.  Saya  permisi bu  “  ujarku  saambil menyalami bu Lisa.

Setelah dari ruangan bu Lisa,aku langsung menelpon ayah dan memberitahunya kalau  semester ini ayah  belum  membayar uang  kuliahku itu.

“ Assalamu’alaikum yah,apa kabar  ayah, ibu, dan  ella di kampung?”
tanyaku.

“ Baik nak,kalau kamu apa  kabar  ? “ tanya  ayah balik.

“  Allhamdulillah  baik  yah”  jawabku   sambil  memikirkan  kata   apa yang harus ku ucap  dahulu  untuk membahas tentang biaya kuliahku ini.

“  Maaf  ola,  bapak dan  ibu  belum   bisa  mengirimkan  uang   untuk kuliahmu  karena kebun  kita ludes terbakar oleh  api dan  ayah  belum  tahu apa  penyebab hal  itu terjadi.  Warga  bilang  jika itu karena disengaja  tapi ada    yang    bilang    itu   ulah    orang    yang    membuang   putung   rokok sembarangan sehingga menjalar ke kebun  kita dan  meluas  “ jawab  ayah sambil mengelah napas yang panjang yang masih bisa aku dengar. Mendengar hal  itu aku  ikut sedih dan  menanyakan kenapa ayah  dan  ibu tidak  memberitahuku  jika terjadi  masalah  di kampung. Sedangkan ayah

dan  ibu  lebih banyak  menceritakan hal-hal lucu tentang tingkah  laku adik kecilku  ,Ella. Yang semakin hari  semakin lucu.  Aku tahu  orang  tuaku  itu ingin membuatku tersenyum karena aku sangat sedih mendengar masalah di kampung sampai-sampai air mataku pun jatuh.


Di sini aku , di teras rumahku sambil memandang Ella yang semakin tumbuh besar. Ya, aku  sudah menyelesaikan kuliah  kedokteranku pada bulan  lalu, jika kalian  bertanya bagaimana nasibku ketika  itu . Sulit sekali aku    menjalankannya    tapi    berkat     dukungan   kedua     orang     tuaku, alhamdullilah semua itu kulewati dengan mudah sedangkan kondisi sawah ayah sudah membaik dan sekarang aku bekerja  di salah satu Rumah  Sakit ternama di Jakarta.

*Siswi kelas XI-2 SMAN 4 Sarolangun

Read More

Profil

Foto saya
Soerya Sandi pseudonim dari Sandi Suryamat, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi. Beberapa cerpennya tersiar di media massa (Jambi Independent, Jambi Ekspres, Harian Jambi, Jambi Today, Majalah Pipet) dan diterbitkan ke dalam buku antologi cerpen bersama, antara lain Cinta Pertama (Sahabat Kata, Jakarta 2012), Belati Tembaga (Festival Sastra, Yogyakarta 2013) dan Riwayat Angin (Smart Writing, Yogyakarta 2013), Lurus Jalan Terus (Efarasti, Banten 2014), Jaran Kepang (Pucuk Langit, Makassar 2014). Buku tunggalnya yang telah terbit Ros Pulang (Salim Media Indonesia, 2015). Naskah lakonnya yang pernah dipentaskan adalah “Hematofobia” dan “Episode perjalanan” Pernah menjadi editor di salah satu penerbit di Jambi (2015 s.d. 2018). Sejak 2019 menjadi tenaga pengajar di SMAN 4 Sarolangun. Surel: soeryasandi@gmail.com, kontak 082373584575.

Sahabat

statistics

Kaleidoskop 2014

Kaleidoskop 2014

Berkenalan dengan Puisi



Unsur- Unsur Pembangun Puisi

Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun, unsur-unsur tersebut bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa menngaitkan unsur-unsur lainnya. Unsur tersebut bersifat fungsional dalam susunannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya. Marjorie Bolton (dalam Hasanuddin, 2002: 34) membagi anatomi puisi atas dua aspek yakni

1) aspek bahasa yaitu bentuk fisik puisi yang mencakup penampilan sajak dalam bentuk nada dan larik sajak, termasuk di dalamnya irama, persamaan bunyi, intonasi, pengulangan dan perangkat kebahasaan lainnya.

2) Aspek isi yaitu bentuk mental yang mencakup tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan dan pola-pola citraan serta emosi.

Kedua aspek tersebut terjalin dan terkombinasi secara utuh yang akan membentuk makna, keindahan dan imajinasi dalam puisi. Unsur yang membangun bahasa puisi adalah (1) diksi, (2) imaji, (3) kata konkret, (4) gaya bahasa, (5) rima dan ritme, (6) tipografi (Waluyo, 1995: 32).

1) Diksi
Diksi adalah kata-kata yang dipilih bermakna tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan dengan pokok pembicaraan. Kata-kata merupakan hasil pertimbangan, baik dari segi makna, susunan bunyi, maupun hubungan kata dengan kata lain dalam larik dan baitnya. Kata-kata dalam puisi bersifat konotatif. Makna yang dilahirkan biasanya lebih dari satu makna. Kata yang dipilih memiliki keindahan bunyi dan selaras satu sama lain sehingga tercipta harmonisasi.

2) Imaji
Imaji adalah kilasan bayangan yang muncul dalam pemikiran pembaca. Imaji dimanfaatkan oleh penyair untuk menuangkan pengalaman dalam bentuk sajak. Sementara itu imaji juga digunakan untuk menjemput pengalaman pembaca yang sesuai dengan pengalaman penyair. Dengan daya imajinasi tersebut, pembaca seolah-olah merasa, mendengar, dan melihat sesuatu yang diungkapkan penyair.

3) Kata konkret
Yakni untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Jika penyair pandai memperjelas mengkonkritkan kata, pembaca seolah  turut merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair lewat sajaknya.

4) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengungkapan dan penggunaan bahasa agar daya tarik puisi bertambah.

5) Rima dan Ritme
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan itu biasanya berpola sehingga menghasilkan bunyi akhir yang sama dan indah untuk didengar. Sementara ritme maknai sebagai pengulangan kata, frasa, atau kalimat dalam setiap larik dan bait puisi.

6) Tipografi
Tipografi dikenal juga sebagai tata wajah dalam puisi. Hal ini yang menjadi pembeda antara puisi dengan karya sastra lain seperti prosa dan drama. Dalam puisi kontemporer seperti puisi Sutardji Calzoum Bahri, tipografi punya peranan penting dalam membangun sebuah keindahan sehingga kedudukan makna tergeser.

Seri Penggunaan Tanda Baca


Tanda Titik Koma (;)

1. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara yang satu dengan kalimat setara yang lain di dalam kalimat majemuk.
    Misalnya:
- Hari sudah malam; anak-anak masih membaca buku.
- Ayah menyelesaikan pekerjaan; Ibu menulis makalah; Adik membaca cerita rakyat.

2. Tanda titik koma dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa.
    Misalnya:
Syarat penerimaan karyawan di perusahaan ini adalah
    1) berkewarganegaraan Indonesia;
    2) berijazah sarjana;
    3) berbadan sehat;
    4) berbadan sehat; dan
    5) bersedia ditempatkan di wilayah manapun.

3. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian pemerincian dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda koma.
    Misalnya:
Ibu membeli buku, pensil dan tinta: baju, celana, dan kaus; pisang, apel dan jeruk.
Agenda rapat ini meliputi
1) pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara;
2) penyusunan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan program kerja; dan
3) pendataan anggota, dokumentasi, dan aset organisasi

Sumber: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

Seri Penggunaan Tanda Baca



Tanda Elipsis (…)

1. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau kutipan ada bagian yang dihilangkan.

Misalnya:
    - Penyebab degradasi … akan diteliti lebih lanjut.
    - Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara ialah ….
    - …, lain lubuk lain ikannya.

2. Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.

Misalnya:
    - “Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?”
    - “Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.”

Catatan: 
  • Tanda elipsis didahului dan diikuti dengan spasi.
  • Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik menjadi empat buah)

Sumber: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

Cerpen

ilustrasi: www.etsy.com


KAKTUS

Karya: Astriananda Syahrani*

AKU adalah seorang remaja yang berwajah tampan. Tinggal di suatu desa berlalu lintas jalan raya yang hampir setia harinya pemandangan mobil pengangkut hitamnya isi alam meramaikan suasana berbunyi meraung-raung. Menyulitkanku terlelap untuk melepas penatku. Kebetulan akhir-akhir ini desaku mengalam sedikit kemalangan. Yaitu dua bulan terakhir ini didesak itu kehausan, sama sekali tak terbasahi oleh air hujan yang amat penting bagi segala yang bernyawa di hamparan bumi ini.

Sore itu, aku duduk di beranda rumahku, menikmati bebasnya diri, ku melihat kakakku sedang menyirami tanaman yang berbunga di halaman rumahku. Semua tanaman uang ada terlihat layu kekurangan nutrisi dan dehidrasi, serta pucat seperti anemia. Tapi, ketika bola mataku sebuah tanaman yang tak begitu indah, namun tidak layu dan tetap segar (tegar) menghadapi cuaca bersuhu 30°C dan tanah yang keras dan kering kerontang itu.

Setelah melihat bunga itu, tanpa sengaja dan tiada terasa aku termenung, aku terbayang kejadinan 2 bulnan lalu, ketika ku berlibur di tempat pamanku. Disana ada seorang gadis cantik jelita sebayaku, yang sangat akrab denganku. Kami hampir selalu menghaniskan waktu bersama. Setiap pagi hari, kami berlari mencari keringat, mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh yang tak lagi berguna. Suatu ketika di pagi hari hampir selesai satu kompleks kami jelajahi. Kami kelelahan dan berehat mengendorkan otot kaki di sebuah ayunan yang ada di kompleks itu. Kami berdua berbincang sambil memperatikan sekitar. Hingga keempat bola mata kami terhenti keyika melihat seorang ibu tua berkepala 4 mungkin. Ia sedang mengais selokan, aku pun terhenyak melihat itu, aku pun bertanya kepada temanku itu unuk mencari tau siapa wanita itu. Temanku pun bercerita, ternyata wanita itu adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan motor. Kini dia menjadi orang tua sendiri dengan satu anaknya.

Di ujung ceritanya, temanku berucap,  "Dia itu kaktus." Aku bingung dengan konotasi itu. Aku bingung bercampur iba, temanku melanjutkan kalimatnya, dengn suara berat ia berkata, "Ya, ibu itu kaktus. Ia hidup sendiri ditemani tunasnya yang kecil. Tubuhnya berdur, tak semulus ibu-ibu lainnya yang ada di kompleks itu.” Yang cantik berbalut kain lembut bermotif inda dan menarik, wajah bertabur kosmetik cantik, berbulu mata lentik dan lingkaran logam kuning di leher tangan dan jarinya. Sedangkan ibu itu kumal, wajah hitam terbakar panasnya matahari dan tangannya dipenuhi lumpur kotor nan berbau. Namun dia tetap tegar mengais sedikit demi sedikit berkah dari Tuhan demi kehidpan ia dnan anaknya. Tetap tegar dan tak pernah gundah menghadapi keras dan keringnya kehidupan dimuka bumi ini. Ibu itu berakhlak mulia, ramah, baik hati dan rajin beribadah kepada sang khalik penciptanya. Menimbulkan aura keindahan dari dalam dirinya. 

Medegar penuturan yang pelan nan sedu itu, mataku berbinar dan hampir menimbulkan hujan gerimis lokal di mataku. Tiba-tiba, PRAK. Pukulan temanku di punggungku, membuatku tersadar dan terkejut . Aku pun marah dan geram, dengan tertawa liar temanku berlari dengan gesit. Aku pun kewalahan mengejarnya. Akan tetapi temanku terpeleset dan terjatuh karena terinjak jalanan yang basah, hingga menimbulkan luka lecet ditubuhnya, dia pun kubawa pulang ke rumahnya dengan cara memapahmya.

Dirumah, aku mengobati lukanya, dan menunggu nya seharian. Dikarenakan kedua orang tuanya sedang dapat kerja diluar kota. Dia sendirian dirumah terbaring lemas ditempat tidur, badan yang luka lecet tak bisa apa-apa karena kejadian tadi siang. Dengan ikhlas dan sabar aku menemani dan menuruti apa perintahnya.

Hingga ketika, dia memanggilku dan berucap, "Vino, terima kasih ya telah menemaniku seharian ini dan terimakasih telah membantu dan menjagaku. Ini salahku, sebabku karena ku ceroboh, tidak memperhatikan jalan, sehingga aku terluka. "

Sudahlah tidak apa, tak perlu menyalahkan diri sendiri. Dan tak perlu mengucapkan terima kasih, ini memang sudah tugasku untuk selalu menjaga dan menemani perempuanku yang sedang sakit. Seharusnya akulah yang berterima kasih padamu, karena kamu telah mau menjadi temanku dan bermain, berlari, tertawa bersamaku. Suka duka dan kenyamanan kurasakan saat bersamamu. Oleh karena itu, maukah kamu menjadi kekasihku? "Kekasih? tanya Vina.
" Iya, kekasihku, kamu mau kan jadi kekasihku?” 

Dengan perasaan bingung, lalu dia menjawab. Dia memberikan jawaban yang amat membuatku bersemangat untuk menjaganya, dan memperjuangkannya sebagai kekasih hati.
Jawaban Vina adalah, "Aku ini tak seindah mawar, tak sewangi melati. Aku berduri, jika kau ingin menemani dan menjaga ku, dan menjadikanku sebagai kekasihmu, maka kau harus rela terkena sakit dari duri ku terlebih dahulu. Ya, aku kaktus!"


*Siswi Kelas XI-1 SMAN 4 Sarolangun

Esai



KRITIK CERPEN “SALAWAT DEDAUNAN” KARYA YANUSA NUGROHO

Oleh: Soerya Sandi

SALAWAT dedaunan terekam di harian kompas edisi minggu, 2 oktober 2011.  Bila membaca cerpen-cerpen Yanusa Nugroho (singkatnya YN) selalu saja “dihidangkan” diksi-diksi yang renyah dan tidak “mbeling”. Salah satu buktinya tentu ada di cerpen ini, seperti biasa YN memulainya dengan ketenangan. Bahasanya lugas dan sederhana namun mengantarkan pembaca kepada imajinasi yang tinggi. 

Sebagai ancang-ancang, maka saya perlu “berpegangan” erat pada “tiang konvensi” bagaimana cara memulai sebuah kritik cerpen. Maka untuk sementara ini saya berpegang pada empat “tiang” ini, pertama tentu memilih subjek, kemudian membaca, mengindentifikasi, serta menginterpretasi (Maman S Mahayana, 2006). Untuk langkah pertama dan kedua yakni memilih subjek serta membaca tentu sudah dapat kita “skip” untuk sementara waktu. Nah untuk itu kita bisa memulainya dengan mengidentifikasi serta menginterpretasi. 


Identifikasi
Dalam hal mengidentifikasi, Maman S Mahayana sendiri membedakannya menjadi dua macam kajian, yakni kajian formal dan fungsional. Fokus kajian formal adalah tentang struktur dan unsur sedangkan kajian fungsional adalah mengenai fungsi. Untuk kajian formal yang melibatkan struktur dan unsur tentu tidak dapat lepas dari unsur intrinsik yang membangunnya.

A. Kajian Formal

Unsur Intrinsik
1. Tema
Menurut Kinayati (2005:24) tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan pengarang lewat karyanya. Menurut Sudjiman (2006:79) tema adalah gagasan, ide ataupun pikiran utama dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Menurut Sudjiman, tema sentral dominan di dalam karya sastra dan ada tema-tema kecil lain di dalamnya yang disebut dengan tema sampingan.

Aspek religiusitas begitu lekat pada cerpen ini, hal itu tergambar pada plot per plot yang dilukiskan YN dengan menghadirkan beberapa tokoh dan seting yang melatarbelakangi cerpen. Keresah-gelisahan YN terhadap multifenomena kemuraman religiusitas yang terjadi pada realita masyarakat salah satunya coba dikupas oleh YN di dalam cerpennya. Seperti keadaan masjid yang selalu sepi terutama di siang hari, jamaah yang paling banyak cuma lima orang, belum lagi kondisi kas masjid yang tak jarang terisi.

2. Alur/Plot
Dick Hartoko (1948:149) berpendapat bahwa alur adalah deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami pelaku cerita.
(Stanton dalam Nurgiantoro,2010:113) mengemukakan bahwa “plot adalah certia yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”. Hamidy (2001:26) alur cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau perangkat cerita dimana bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan, sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Bila didasarkan pada cara pengisahannya, cerpen ini memiliki alur campuran sebab ada tokoh bernama Haji Brahim yang ambil peran di bagian prolog cerita. Kemudian cerita dikisahkan  dari masa lalu yang diceritakan kembali. Sedangkan bila disimak berdasarkan cara bercerita atau mengakhiri cerita, cerpen ini dapat dikategorikan berplot lembut-meledak. 

Plot lembut-meledak adalah gabungan antara plot lembut dan plot meledak. Ini semua sekadar menerangkan bahwa dalam dunia sastra, selalu saja ada yang melenceng dari kriteria definitifnya (Arswendo, 2011). Dikatakan plotnya lembut meledak sebab pembaca pertama terbawa arus cerita yang tenang namun di bagian akhir ada semacam ledakan cerita yang tak disangka-sangka oleh pembaca. 

3. Penokohan
(Stanton dalam Nurgiantoro,1998:165) mengemukakan bahwa “penokohan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dalam cerpen bisa banyak tetapi berperan sebagai peran utama tidak lebih dari dua orang, tokoh lain berperan sebagai penegas keberadaan tokoh utamanya.
a. Haji Brahim adalah pengurus masjid, punya peran sebagai sumber cerita.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap jumat jumlah jemaah, paling banyak 45 orang.
b. Nenek, seorang tokoh sentral cerita yang menjadi pusat pengisahan. 
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. 

c. Aku, berperan sebagai posisi pengarang selaku orang yang mengisahkan kembali.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampunan.

4. Sudut Pandang
Point of view atau sudut pandang cerpen ini adalah orang ketiga pelaku utama. Tokoh Nenek di dalam cerita adalah sumber/pusat pengisahan, yang berposisi sebagai orang ketiga setelah Aku dan Haji Brahim.

5. Latar
(Aminuddin,2010:67) mengemukakan latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Tempat 
Pada umumnya latar pada cerpen salawat dedaunan bertempat di masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, temboknya tak berdaaun – hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. 

b. Waktu
1. Siang hari
Suatu siang, seudai shalat jumat, ketika orang-orang sudah lenyap entah ke  mana……….
2. Malam hari
Malam, itu Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek…..

c. Sosial
Cerita ini berlatarkan sosial masyarakat muslim, dapat dilihat pada latar tempat yang selalu melibatkan masjid di dalam ceritanya. 
Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang dating berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekedar memberinya minum. Dan semuanya selalu berjamaah di masjid.

6. Amanat
(Sudjiman, 2006: 57) dari sebuah karya satra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang. Pesan inilah yang dijadikan amanat. Cerpen karangan YN ini hendak berpesan kepada pembaca bahwa satu-satunya hal yang dirasa paling baik untuk mendorong perubahan sikap adalah dengan perbuatan. 

B. Kajian Fungsional
Salawat dedaunan dikemas dengan cerita yang sederhana serta bahasanya yang mudah diikuti, namun tetap memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Sebetulnya bila ditelusuri secara tematis, tema-tema seperti ini sudah banyak diangkat oleh pengarang-pengarang pada umumnya. 

Permasalahan serupa sebetulnya sudah pernah diusung oleh pengarang pendahulu seperti A.A navis dengan robohnya surau kami. Namun kemudian lahirlah beragam versi seiring dengan lahirnya transformasi kreatifitas. Khasanah lokalitas pada cerpen ini juga begitu lekat adanya. Namun, di sini pengarang memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Utami Munandar 1995:25). 

Biarpun cerpen ini mengarah pada cerita surealistik, namun kepiawaian YN sang empunya cerita memberikan kesan-kesan sederhana namun tetap survive, menjadikan cerpen ini terlihat luwes, dan tetap sensitive kepada kebaruan-kebaruan. Misalnya ketika terjadi multifenomena semacam orang-orang yang meminta sumbangan pembangunan mesjid di pinggir jalan, atau ke rumah-rumah. Membuat adanya anggapan dekonstruksi egaliter agama Islam dengan agama lain. Hal demikian menurut pandangan YN pada cerpennya tidaklah berbeda halnya dengan mengemis – mengiba untuk pembangunan masjid. Hal seperti itulah yang dipandang oleh YN yang menyebabkan erosi religiusitas di kalangan masyarakat., hingganya lahirlah cerpen tersebut. 


Interpretasi
Berdasarkan pelukisan latar serta tokoh, sudah nampak jelas betul jika Yanusa Nugroho akan mengurai sebuah epik keagamaan. Dan hampir dapat dipastikan kalau cerita nantinya akan berkembang di seputaran latar yang itu-itu saja. Namun, ternyata YN mampu menggugah dan merubah interpretasi pembaca terkait ungkapan “yang itu-itu saja” tersebut dengan mengadirkan tokoh nenek di dalam ceritanya. Tentu hal demikian bisa jadi semacam surprise dari penulis kepada pembaca. YN memulainya dengan lambat laun sebelum menghadirkan “actor epicentrum” di dalam ceritanya. Perhatikan kutipan berikut ini :

Sesaat sesudah orang tua itu berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“alaikum salam…nek”  jawab salah seorang pengurus, sambil mengangurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
“ ada apa?“ tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“ saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan” 

Pada adegan seorang pengurus memberikan uang 500-an kepada nenek tersebut, YN memandang hal demikian bisa dikategorikan ke dalam multifenomenal yang ada di pembahasan awal tadi. Fenomena itu sendiri terjadi akibat adanya tradisi atau kebiasaan yang berulang-ulang. Para pengurus masjid melihat sosok nenek yang bongkok, tua, serta ringkih yang mendatanginya sebagai seorang pengemis. Padahal penampilan demikian tidak selalu representatif bahwa orang yang seperti itu sudah pasti pengemis, maka mereka pun memberinya uang recehan. Pada kenyataannya si nenek tersebut ternyata bukanlah seorang pengemis ia sendiri malah berucap “saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan”.  
Yang menarik adalah kenapa si nenek mengatakan tidak perlu uang tapi perlu jalan ampunan? Jawabannya tentu sudah dilukiskan oleh YN dengan mendeskripsikan penampilan si nenek yang lusuh lagi bungkuk termakan usia, yang rasanya sudah tiada guna lagi artinya uang. Hingganya yang ia butuhkan adalah pertobatan menuju jalan ampunan. 

Di bagian lainnya YN menutupi kesederhanaan diksi yang digunakan dengan pengolahan kisah. Seperti pada kutipan berikut :
Nenek itu diam beberapa saat. Tenpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya…
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyari menimbun permukaan halaman itu. 
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun mengambil sapu lidi.
“ jangan…jangan pakai sapu lidi…dan biarkan saya sendiri yang melakukan ini.”

Kepiawaian YN mengalirkan cerita dari lembut lalu meledak tentu menutupi diksi-diksinya yang lugas. Bila hendak dicermati, mengapa si nenek memunguti dedaunan itu dengan tangannya sendiri? tanpa bantuan sapu lidi bahkan ia ingin melakukannya sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu sebetulnya oleh YN dihadirkan pada adegan berikutnya.  
Setelah dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi. 

Setelah berhari-hari memunguti dedaunan yang berserakan di halaman masjid, si nenek akhirnya berpulang. Tak ada yang tahu apa maksud dari perbuatannya itu. Dari awal ia hanya berkata bahwa ia tak butuh uang, ia butuh jaan ampunan. Tapi, pertobatan semacam apa itu? Bahkan ia sendiri tidak shalat di saat tiba waktu shalat, ia tetap khusuk memunguti dedaunan seraya beristigfar pada setiap helainya. Tetapi senyatanya setelah itu halaman masjid menjadi bersih, tak ada lagi dedaunan yang berserak. Tapi barangkali nenek itu hadir sebagi contoh, dan setelahnya ..
yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai. 


Jambi, Juni 2013



Daftar Rujukan

----------, 2012. Dari salawat dedaunan sampai kunang-kunang di langit Jakarta. 20 tahun cerpen pilihan kompas. Jakarta: Gramedia.

Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu gampang. Jakarta: Gramedia.

Jabrohim (ed). 2012. Teori penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen – Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia.








Karya Siswa


SEPENGGAL CERITA MENUJU SERENDIPITY

Karya Anggel Anggreini*

AKU Ahtisa Mangola, teman-temanku sering memanggilku Tisam sedangkan keluargaku memanggiku Ola. Aku anak  pertama dari pasangan Beni Sukiman  dan Leni Lestari.Aku mempunyai seorang adik bernama Ella Mangola. Banyak  orang  bertanya Apa  cita-citaku? Aku selalu menjawab “Aku ingin menjadi Maudy Ayunda sang aktris cantik  dan cerdas yang bisa menjadi  salah  satu mahasiswi  di  Stanford  University  “,  terkadang  aku menjawab “ Aku ingin menjadi seperti Ariska Putri Pertiwi dan Kevin Liliana sang Puteri  Indonesia yang bisa menjadi ratu dunia  dalam ajang internasional,yaitu Miss Grand International dan Miss International “. Itulah aku,seorang remaja yang masih bingung  dengan cita-citaku sendiri.

Hari  ini merupakan hari  terburuk yang  pernah aku  alami  ,dimulai dari  keterlambatan ke  sekolah sampai kebingunganku menentukan cita- cita.Masih ku  ingat  pagi  tadi  motor   ayah  rusak karena rantainya putus sehingga aku  harus berjalan kaki  menuju   sekolah. “Yang di  luar  pagar itu,cepat  masuk”  ,ujar  bu  Nadia.   Mendengar  itu  aku   berjalan  dengan tergesa-gesa menuju  ibu Nadia,”Pagi ibu cantik,” kataku sambil tersenyum manis. Sebenarnya aku  ingin  merayu  agar  tidak  diberi  hukuman karena terlambat “ ngak  perlu  senyum-senyum sambil memuji  saya,sebab kamu juga harus dihukum  karena keterlambatanmu,lagi pula ibu memang sudah cantik  dari lahir.” Balasnya. Aku menundukkan kepala sambil menyembunyikan tawaku.Kemudian aku  langsung menjalankan hukuman dari bu Nadia  itu.Setelah itu,aku langsung menuju  ke kelas untuk  belajar. Sesampai di kelas aku langsung disambut dengan kehebohan teman sekelasku.

“Kenapa pada ribut sih? “ tanyaku.

“Itu di depan ruang  kepala sekolah ada  kakak-kakak ganteng.” Ujar Leyla

“Kata  anak   kelas  sebelah  ,itu  guru  baru.”  Sambung Vivi dengan
nada cuek.

Setelah itu  kami  mendengar pemberitahuan bahwa seluruh anak kelas XII harus ke lapangan depan. Aku dan yang lainnya langsung menuju ke lapangan. Sesampainya di lapangan ,kami disuruh duduk  sesuai kelas kami.Aku langsung menuju  ke barisan kelasku yaitu XII-2. Setelah semua duduk dan diam,salah satu dari 5 kakak-kakak itu mulai berbicara.

“Assalamualaikum adek-adek, disini kami  dari Sekolah Tinggi Ilmu
Pemerintahan  Bojonegoro  ingin  mempromosikan  bahwasanya  jika adek- adek  sekalian  ingin  melanjutkan  sekolah  ke  peguruan tinggi,  adek-adek bisa memilih  peguruan kami  ini.” Kata  kakak  tersebut dan  masih banyak lagi yang disampaikan kakak-kakak itu,aku tidak  terlalu  fokus dengan apa yang    dibicarakannya   karena   aku    lagi    memikirkan   apa    aku    ingin melanjutkan sekolah ke sekolah itu atau  tidak, karena yang kudengar peguruan tinggi tersebut banyak  menghasilkan lulusan terbaik  dari segala bidang. Mendengar itu aku semakin bingung  dengan kelanjutan sekolahku ini karena tinggal  menunggu beberapa bulan  lagi aku akan  meninggalkan sekolah ini [SMA Negeri 4 Bojonegoro ]. Aku melihat semua orang  sangat antusias dengan hal  ini sehingga hal  ini menjadi buah  bibir  dikalangan kelas XII .

“Ola,kok kamu  dari  pulang   sekolah kerjaannya bengong mulu, di sekolah ada  yang nyakitin kamu atau  ada  masalah lain?” tanya  ibuku.

“Ngak ada  apa-apa bu,cuman aku bingung  dengan kelanjutan sekolahku nanti” balasku.

“Waktu  kelas  X dulu  kamu   bilang  ke  ibu,kamu  ingin  jadi  orang sukses dan terkenal seperti idola-idolamu itu “ kata ibu.

”Dulu ketika  kelas X aku  belum  kepikiran  bu,kalau memilih  jurusan itu susah.Aku cuman tahunya kalau  aku ingin menjadi seperti orang-orang yang  aku  lihat  di TV karena dia sukses,cantik,cerdas,dan memiliki postur tubuh  yang  bagus tapi  ternyata realita  ngak  semanis ekspetasi” balasku sambil memandang ke luar jendela yang  masih dipenuhi  dengan pohon–pohon yang asri

“Menurut ibu kamu harus memilih jurusan sesuai kemampun kamu.” Kata ibu . Setelah tu ia menuju  ke dapur  untuk  membut kopi untuk  ayahku yang baru pulang  dari sawah.

Hari  itu  tiba,  hari  dimana  aku  akan   meninggalkan  sekolah  yang selama tiga  tahun  ini aku  tempati ,  dimulai  dari  kisah bahagia maupun sedih. Aku melihat orang-orang disekelilingku menunjukan ekspresi yang berbeda-beda,  ada   yang   bersorak  bahagia  karena  akan   meninggalkan sekolah ini dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan ingin cepat-cepat masuk perguruaan tinggi dan  ada  pula yang dikabarkan ia bahagia karena ingin menikah. Selain itu ada  yang berekspresi sedih sebab akan  berpisah dengan teman-temannya,ada yang berekspresi biasa saja, sampai ada sebagian orang  yang menunjukan ekspresi uring-uringan karena akan meninggalkan sang kekasih tercinta, adik kelas X dan XI.

Sedangkan aku sibuk memikiran tentang kelanjutan sekolaku.

“ Kamu  mau  ngelanjut  dimana,  Tisam”  tanya  Rian, sang  mantan ketua  osis

“ Belum tahu “ jawabku  sedikit cuek

“ Kok jawabnya cuek banget, kata orang  anak  gadis itu ngak baik loh judes sama cowok.  Nanti ngak ada  yang mau “ jawabnya dengan nada sok bijak

“  Sok  tahu  kamu! Lagi pula  ngak  apa-apa kok  jika semua cowok ngak  mau  sama aku.  Sebab sekarang itu bukan  waktunya mencari pacar tapi   sekarang  waktunya untuk   fokus dengan  masa  depan  “   jawabku dengan serius. Setelah itu aku  langsung berpamitan kepada Rian menuju ke kantin untuk makan .

“  Banyak  orang   yang  menyukaimu  ,Tisam.  Termasuk  aku  tetapi kamu  tidak  pernah peka  dengan perasaanku  ini “  gumam Rian  sambil memandang tubuh  Ahtisa yang lama-kelamaan ditelan  dinding.

Disini aku,ditengah keramaian siswa-siswi yang berlalu lalang di perkarangan salah satu Universitas di Jakarta. Ya aku sudah menentukan jurusan  apa   yang   mau   aku  ambil   yaitu  jurusan  hukum   seperti  Nadia Purwoko,  si  gadis  cantik   dari  Bengkulu  yang  dinobatkan  sebagai  Miss Grand   Indonesia  dan   menjadi  2nd     RU  Miss  Grand   International.  Hari pertama aku di sini sangat bagus karena aku sudah mendapatkan teman- teman baru.

Pada bulan  pertama dan  kedua, aku  menjalankan mata kuliahku dengan semangat tetapi pada bulan  selanjutnya aku mulai merasa ketidakcocokan  diriku  dengan  jurusan  yang  ku  ambil  ,dan  dari  sinilah masalah terbesarku  dimulai  ,dari ketidaknyambunganku dengan teorinya dan   ketertarikanku  dengan  jurusan  kedokteran.Walaupun  banyak   yang bilang kodekteran itu lebih susah dari hukum  tetapi kekeras kepalaku yang membuat aku tidak  mengindahi ucapan dari orang-orang termasuk orang tuaku  sendiri.

“Tisam, jika kamu  ingin jurusan kedokteran kamu  jangan bermain- main  nak karena ini bukan  hal yang sepele. Dilihat dari sifatmu ini ibu dan bapak takut  jika kamu  tidak  bisa menyelesaikan mata kuliahmu  ini “ ucap ibu

“ Ngak bu, sekarang Ola sangat sungguh-sungguh dan akan menyelesaikan  dengan baik  bahkan akan  membanggakan ibu  dan  ayah “ jawabku

“ Ibu bukan  ngak percaya, tapi kamu harus memikirkan ayahmu nak, biaya  kuliah  itu  mahal dan  lagi  pula  sekarang ini musim kemarau. Jadi hasil padi ayahmu tidak selancar dan sebagus dulu “ tambah ibu


“  Iya  bu,  insyaallah  Ola tidak  akan  mengecewakan ayah  dan  ibu,” ucapku sambil memeluk ibuku.

Mengingat percakapan aku dan  ibu waktu  itu,aku sangat berusaha untuk     mendapatkan   hasil    yang    baik    dan     pulang     ke    kampung membanggakan  kedua   orang   tuaku   dengan  gelarku   sebagaai  dokter. Setahun sudah ku jalani hidupku  dalam dunia  perkuliahan kedokteran dan allhamdulillah sampai di sini tidak ada  rintangan yang sulit untuk aku jalani.

“ Tisam kamu  dipanggil  bu Lisa,katanya kamu  langsung datang ke ruangannya  karena  ada   yang   harus  dibicarakan  “   kata   Rose,  teman terdekatku di sini  yang  berasal  dari  keluarga  yang  sederhana sepertiku juga.  Mendengar hal  itu  aku  langsung menuju  ke  ruangan bu Lisa,sesampainya  di  sana  aku   disuruh  duduk   dan   mendengar  hal  ini dengan baik-baik.

“ Ahtisa kamu  semester ini belum  membayar uang  sekolah “ ucap bu Lisa

“  Iya bu, orang  tua  saya semester ini belum  mengirimkan uang,mungkin hasil sawah ayah saya ngak bagus bu “ balasku

“ Nanti  setelah  keluar  dari sini,  kamu  langsung  beritahu  orang  tua mu ya “ kata bu Lisa dengan lembut disertai senyum manisnya

“  Iya bu, akan  saya kasih tahu.  Saya  permisi bu  “  ujarku  saambil menyalami bu Lisa.

Setelah dari ruangan bu Lisa,aku langsung menelpon ayah dan memberitahunya kalau  semester ini ayah  belum  membayar uang  kuliahku itu.

“ Assalamu’alaikum yah,apa kabar  ayah, ibu, dan  ella di kampung?”
tanyaku.

“ Baik nak,kalau kamu apa  kabar  ? “ tanya  ayah balik.

“  Allhamdulillah  baik  yah”  jawabku   sambil  memikirkan  kata   apa yang harus ku ucap  dahulu  untuk membahas tentang biaya kuliahku ini.

“  Maaf  ola,  bapak dan  ibu  belum   bisa  mengirimkan  uang   untuk kuliahmu  karena kebun  kita ludes terbakar oleh  api dan  ayah  belum  tahu apa  penyebab hal  itu terjadi.  Warga  bilang  jika itu karena disengaja  tapi ada    yang    bilang    itu   ulah    orang    yang    membuang   putung   rokok sembarangan sehingga menjalar ke kebun  kita dan  meluas  “ jawab  ayah sambil mengelah napas yang panjang yang masih bisa aku dengar. Mendengar hal  itu aku  ikut sedih dan  menanyakan kenapa ayah  dan  ibu tidak  memberitahuku  jika terjadi  masalah  di kampung. Sedangkan ayah

dan  ibu  lebih banyak  menceritakan hal-hal lucu tentang tingkah  laku adik kecilku  ,Ella. Yang semakin hari  semakin lucu.  Aku tahu  orang  tuaku  itu ingin membuatku tersenyum karena aku sangat sedih mendengar masalah di kampung sampai-sampai air mataku pun jatuh.


Di sini aku , di teras rumahku sambil memandang Ella yang semakin tumbuh besar. Ya, aku  sudah menyelesaikan kuliah  kedokteranku pada bulan  lalu, jika kalian  bertanya bagaimana nasibku ketika  itu . Sulit sekali aku    menjalankannya    tapi    berkat     dukungan   kedua     orang     tuaku, alhamdullilah semua itu kulewati dengan mudah sedangkan kondisi sawah ayah sudah membaik dan sekarang aku bekerja  di salah satu Rumah  Sakit ternama di Jakarta.

*Siswi kelas XI-2 SMAN 4 Sarolangun