ESTETIKA MAUT PADA SAJAK MEMBACA GELISAH CHORY MARBAWI
Soerya
Sandi
Ketika Maut Menjadi Sebuah Obsesi
Kematian
bukanlah semata-mata ketidakadaan dan kebinasaan, akan tetapi ia hanyalah
terputusnya hubungan antara ruh dan jasad, terpisah dan terhalangnya keduanya
untuk menyatu dan bertemu. Kematian hanyalah pergantian keadaan perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah kiranya paparan tentang maut atau
kematian menurut Abdul Hadi (2002:27).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:72 5)
memadankan kata maut sendiri dengan kata mati
atau kematian, terlebih lagi
tentang manusia. Maut hanya diperuntukkan untuk manusia, sedangkan yang bukan
manusia tidak dilanda maut, melainkan
hanya mati saja. Kata mati dapat berarti: (1) sudah hilang
nyawa, tidak hidup lagi, (2) tidak bernyawa, tidak pernah hidup, dan (3) diam,
berhenti, tidak bergerak.
Vonis Tuhan tentang kematian juga termaktub di dalam
Al-qur’an;
Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, maka ia sungguh telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imron : 185)
Begitu
pula dengan agama Nasrani yang menyatakan bahwa “ baik hidup atau mati, kita
adalah milik Tuhan’ (Rm 14:7-9. 10b-12). Hidup dan mati adalah dua hal yang
sifatnya manusiawi, tidak seorang pun dapat ‘nyumput’ dan luput darinya. Kita
yang manusia selalu menganggap bahwa hidup adalah kenikmatan dan mati adalah
kebinasaan. Hidup membawa kepada cita-cita dan harapan, sedangkan mati sebagai
bencana dan kegelapan. Tapi hidup dan mati adalah milik Tuhan, manusia hanya
melakonkan kisah di dunia dan akan dinilai di alam baqa.
Begitu
banyak penyair-penyair Nusantara yang mengkultuskan maut di dalam puisinya.
Tapi manakala hal tersebut sudah masuh ke dunia nyata, hal demikian sudah bukan
lagi sekedar ‘obsesi’. Melainkan gambaran atau firasat bahwa begitu dekatnya
maut kepada penyairnya. Sebegitu terobsesinya Chory Marbawi kepada maut
sehingga ia mampu membaca gelisah
bahwa maut akan bersegera. Ia meninggal di usia yang relatif muda, 27 tahun (1985-2012)
nyaris persis dengan pendahulunya Chairil Anwar, 27 tahun (1922-1949) dan sama-sama
mewariskan puisi pula. Namun sosok Chory mengingatkan kita kepada Kriapur
(Kristanto Agus Purnomo), penyair yang juga meninggal di usia muda, 28 tahun
(1959-1987). Mereka sama-sama seorang pendidik, kronologi meninggalnya hampir
sama yakni karena kecelakaan.
Seperti
halnya Kriapur yang berani mengungkapkan ‘kupahat mayatku di air’ (Horison
2004), Chory juga mampu ‘membaca gelisah’ tentang maut yang selalu memapah
wajah. Kedua-duanya mengakrabi maut sebagai suatu katarsis yang
diimplementasikan ke dalam puisi. Pada puisi Kriapur ‘ kupahat mayatku di air’,
ia sendiri seperti melukiskan kronologis kematiannya di dalam puisi. Seperti
pada bait pertama puisi /kupahat mayatku di air/, /namaku mengalir/, /pada batu
dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/. Gambaran bait-bait puisinya semacam
memberi gambaran tentang kematian yang didambakannya. Ketika hari nahas
menjelang, siang 17 februari 1987, sebuah kecelakaan terjadi di daerah Batang,
Pekalongan, Jawa Tengah. Sebuah mobil terperosok ke dasar kali/air, seperti yang
dilukiskan pada puisinya /pada dasar kali kuberi wajahku/, /pucat dan beku/.
Demikian halnya dengan Chory Marbawi, ia punya
lukisan sendiri bagaimana ‘skenario’ keberpulangannya terjadi. Hari masih pagi,
2 Oktober 2012, ketika itikadnya menunaikan pekerjaannya sebagai guru harus
pupus di tengah jalan. Ya, hari duka tiba, menjawab sebuah tanya /kapan aku
membelaimu kembali?/. Hari selasa, di pekan pertama, penyair muda kita sudah
tiada.
Maut Sebagai Nilai Estetis Sebuah Puisi
MEMBACA GELISAH
: dalam jarak
Chory Marbawi
kita tergeragap mengeja jarak dalam
ruang pisah
“ kapan aku membelaimu kembali”
suara ngilu, dalam ruang pengap
kita terbaring membaca gelisah yang
meresah
“kau yang terlahir dari rahim
mendekatlah”
dari kejauhan, terdengar sayup-sayup
parau panggilanmu
seketika, terlihat seraut wajah
berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian
menghilang
dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang
meresah.
Teater AiR, 2009
(
Beranda Senja, hal 64)
Bila
hendak disimak, beberapa puisi yang ditulis oleh Chory Marbawi sering
‘menjejakkan’ tanda baca petik(“) di setiap baitnya. Ada semacam warisan
semiotik yang menarik untuk digali bagi siapa saja yang membacanya. Pada
disiplin ilmu kebahasaan, tanda petik (“) memiliki salah satu fungsi sebagai
pengapit dari sebuah pembicaraan/percakapan. Kaitannya dengan puisi “membaca
gelisah”, tanda ini cukup menarik untuk ditelusuri.
Pada
bait pertama yang dipadukan pada dua buah larik, larik pertama seperti
memberikan tuntunan akan hadirnya bait kedua. Larik /kita tergeragap mengeja
jarak dalam ruang pisah/ dijadikan semacam prolog untuk memperkenalkan larik
kedua. Ada perpaduan antara prosa dan puisi pada puisi ini. Jika di dalam
prosa, baik itu novel maupun cerpen, kata yang tidak dibarengi dengan tanda
petik biasanya cenderung bersifat mendeskripsikan, sedangkan kata yang bertanda
kutip biasanya berupa dialog atau percakapan.
Pada larik kedua, pada
ungkapan /”kapan aku membelaimu kembali”/. Menyiratkan adanya dialog antara
penulis dengan sesuatu yang bisa kita sebut metafisis. Metafisis asalnya dari
kata metafisika yang artinya berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat nonfisik atau tidak kelihatan. Hal demikian
semakin memperkuat adanya kemasygulan dari penyair sendiri kepada sesuatu yang
lebih abadi (kematian).
Bait
berikutnya /suara ngilu, dalam ruang pengap/,
/kita terbaring membaca gelisah yang meresah/, secara implisit larik
tersebut merepresentasikan dunia alam kubur. Bagaimana saat berada /dalam ruang
pengap/ lagi gelap, /kita terbaring membaca gelisah yang meresah/. Keresahan
dan kegelisahan yang dirasakan Chory justru dimanfaatkannya untuk terus
berkreasi melahirkan puisi. Demikian adanya dengan harapan dan hasratnya meraih
kelanggengan setelah kematian.
Sebuah
‘sketsa’ kematian yang dituliskan Chory semakin jelas gambarannya ketika kita
membaca bait ketiga, /“kau yang terlahir dari rahim mendekatlah”/, /dari
kejauhan, terdengar sayup-sayup parau panggilanmu/. Larik pertama menyiratkan
panggilan sekaligus menegaskan bahwa maut itu sudah takdir atau ketentuan
Tuhan, sebab manusia itu lahir, hidup, dan mati sudah sesuai dengan garis
takdir, tidak perlu lagi dirisaugelisahkan. Maut adalah janji manusia kepada
Tuhan, datangnya tidak bisa dihindari, sebuah perjanjian sudah disepakati. Seperti
halnya dalam dunia pewayangan, manusia hanya melakonkan kisah epos duniawi,
lalu kembali dijemput Yamadipati.
seketika, terlihat seraut wajah berkejaran
atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang
dalam ruang pisah jarak yang megah,
kita tergagap membaca gelisah yang meresah.
Bait
keempat dan kelima dijadikan sebuah epilog, /seketika, terlihat seraut wajah
berkejaran/, atas nama bayang-bayang, kemudian menghilang/. Pentas pelakonan
sandiwara di dunia melibatkan wajah-wajah saling berkejaran, bersaing
merebutkan materi dan harta yang bergelimpangan. Tapi tatkala maut menjemput
nanti, semuanya menghilang, hanya sebatas bayang-bayang.
Chory
melibatkan unsur metafor pada bait kelima, pada kata ‘ruang pisah’ dan ‘jarak
yang megah’. Maut adalah muara kelanggengan, sedang hidup merupakan
kesementaraan. Semua bermuara pada keabadian, ketika manusia yang masih hidup
dan yang sudah mati dipisahkan oleh sebuah ‘ruang pisah’, yang jaraknya tak
teraba oleh disiplin ilmu apa saja. Kita yang masih hidup masih akan terus ‘
tergagap membaca kisah yang meresah’.
Namun
baginya tak ada lagi resah apalagi gundah, sebab dia sudah berada di ‘ruang
megah’ untuk selama-lamanya. Selamat jalan Bang Chory Marbawi.
Mendalo, April 2013